
Linimasa media sosial dan berita telah ramai membahas pinjaman online (pinjol) yang di-endorse kampus kepada para mahasiswa yang sedang tidak mampu membayar Biaya Penyelenggaran Pendidikan (BPP) di institut negeri di Bandung. Informasi pinjol tersebut secara resmi muncul di akun status keuangan mahasiswa dengan tautan ke laman perusahaan pinjol sekaligus helpdesk-nya. Mulanya, sejumlah mahasiswa yang sedang memiliki kesulitan finansial mengadu ke satu akun media sosial menfess dan solusi kesulitan keuangan pembayaran BPP dengan pinjol. Jika kita menelusuri mesin pencari Google dengan kata kunci “MoU Kampus” dan nama pinjol tersebut ternyata kerja sama tersebut sudah masif dilakukan oleh sejumlah kampus terutama kampus negeri.
Penyelewengan terhadap Konstitusi dan Undang-undang
Lalu di mana letak masalahnya? Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 paragraf keempat yang berisi cita-cita bernegara dan amanat kepada pemerintah jelas menyebutkan bahwa “mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah tujuan berbangsa dan bernegara. Cita-cita tersebut salah satunya diturunkan menjadi aturan hukum dan tata kelola di bidang pendidikan tinggi melalui Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (PT).
Di pasal 76 Paragraf 2 tentang Pemenuhan Hak Mahasiswa di UU PT, diatur bahwa pemenuhan hak mahasiswa dilakukan dengan tiga cara yakni beasiswa kepada mahasiswa berprestasi, bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan. Sekali lagi, pinjaman tanpa bunga! Secara teknis sejumlah kampus mengadopsi aturan tersebut dengan aturan dan kebijakan turunan dengan memberikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan BPP berdasarkan penilaian kondisi ekonomi mahasiswa, penyediaan beasiswa berprestasi dan kurang mampu hingga fasilitas banding dengan keringanan cicilan keuangan tanpa bunga.
Kesalahan dasar kampus-kampus negeri yang dengan sengaja bekerja sama dan memberikan endorsement kepada pinjol di situs resmi kampus adalah mereka abai terhadap amanat UUD dan UU PT. Namun kesalahan ini bukan kesalahan tunggal dan di titik tertentu, kampus negeri juga merupakan korban.
Sistemik
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sejak lebih dari dari satu dekade terakhir menargetkan agar semakin banyak kampus negeri masuk jajaran universitas top dunia atau World Class University (WCU). Tidak hanya agar semakin banyak kampus negeri yang masuk radar WCU namun juga agar posisi para kampus negeri ini semakin naik tinggi setiap tahunnya. Di tahun 2024 ini, 26 universitas di Indonesia sudah masuk pemeringkatan QS WUR dengan 19 kampus negeri yang mendominasi di sembilan posisi teratas.
Perlombaan peringkat WCU baik pada QS WUR maupun pemeringkatan lain di dunia seperti THE WUR memiliki dampak yang signifikan terhadap target-target universitas dan pengalokasian sumber daya kampus. Tidak hanya itu, pemeringkatan tersebut juga menjadi kontrak kinerja para Rektor dengan Kemdikbud dan indikator-indikator turunannya menjadi kontrak kinerja di internal petinggi kampus.
Hal ini menjadi problematik bagi pihak kampus saat Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang dilalokasikan pemerintah terbatas. Di APBN 2024 misalnya, Komisi X DPR RI dan Kemdikbud menyepakati anggaran BOPTN dan Pendidikan Vokasi sebesar Rp 7,2 triliun untuk 125 lembaga. Jika dipukul rata, hal tersebut setara Rp 57,6 miliar per lembaga pendidikan tinggi. Bandingkan bantuan operasional tersebut dengan kebutuhan anggaran lima PTN teratas misalnya. Di laporan keuangan yang sudah diaudit pada periode 2022 di lima PTNBH dengan posisi QS WUR tertinggi, anggaran UI sebesar Rp 3 trilliun. Disusul ITB sebesar Rp 1,7 triliun, UGM sebesar Rp 2,9 triliun, Universitas Airlangga sebesar Rp 1,15 triliun dan IPB di angka Rp 820 miliar. Jauh sekali antara dukungan pemerintah dan kebutuhan penyelenggaran pendidikan tinggi yang dituntut berkelas dunia.
Lalu dari mana kebutuhan tersebut bisa dipenuhi? Hal paling cepat dan mudah bagi kampus adalah dengan membebankan kepada masyarakat melalui UKT dan BPP mahasiswa. Hal ini terbukti dengan proporsi anggaran dari masyarakat di kampus-kampus negeri yang ada di kisaran 40-60%. Proporsi tersebut masih sangat dominan jika dibandingkan dengan dengan pos-pos penerimaan lain seperti usaha ventura universitas dan kerja sama dengan dunia kerja dan industri.
Fenomena pinjol sebagai solusi terhadap permasalahan keuangan mahasiswa di kampus negeri yang dipromosikan secara resmi oleh kampus adalah peringatan dini kepada pemerintah dan masyarakat. Praktik ini tidak bisa dibenarkan. Alih-alih memberikan bantuan subsidi, beasiswa atau keringanan keungan lainnya, solusi pinjol yang memiliki beban bunga setara 18-20% per tahun tersebut, merupakan bukti solusi berbasis pasar di pendidikan tinggi yang dikelola negara. Hal ini jelas menyalahi UUD 1945 dan UU Pendidikan Tinggi.
Sikap Pemerintah
Tulisan ini sekaligus merupakan pertanyaan terbuka kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). Bagaimana sikap dan kebijakan resmi pemerintah terkait kerja sama PTN dengan pinjol untuk membiayai biaya pendidikan mahasiswa?
Apakah Anda masih ingat dengan kasus-kasus mahasiswa sejumlah kampus yang terjerat pinjol di acara ospek dan kegiatan internal kampus? Direktur Jenderal Dikti, Nizam, menyayangkan para mahasiswa yang terjerat pinjol dan berharap para mahasiwa tidak memiliki gaya hidup hedonis serta lebih memahami literasi keuangan. Inilah inkonsistensi pemerintah. Mereka menyayangkan mahasiwa yang terjerat pinjol namun di sisi lain abai atau membiarkan para petinggi kampus-kampus negeri untuk bekerja sama dengan perusahaan pinjol sebagai solusi masalah keuangan pembiayaan pendidikan mahasiswa.
Solusi
Solusi jangka pendek fenomena ini adalah melarang seluruh kampus negeri di bawah pengelolaan negara untuk bekerja sama dengan perusahaan pinjol. Harapannya, hal ini juga menjadi concern dan diikuti oleh yayasan dan pengelola pendidikan tinggi swasta. Sehingga seluruh warga negara memiliki jaminan psikologis dan finansial untuk melanjutkan pendidikan tinggi tanpa dibebani ketidakmampuan untuk membiayai pendidikan. Hal ini sangat penting karena jangan sampai seleksi pertama bagi para orang tua dan calon mahasiswa adalah seleksi psikologis yakni ketakutan atau kekhawatiran tidak mampus membayar biaya kuliah.
Selain itu, jika pemerintah menargetkan kampus-kampus Indonesia agar masuk jajaran kelas dunia, berikanlah dukungan kelas dunia melalui alokasi sumber daya keuangan, personel dan operasional lain yang memadai. Komitmen para calon anggota DPR RI dan pemerintahan baru 2024 tentang pendidikan dan khususnya pendidikan tinggi bisa menjadi basis penentuan kita dalam memilih kandidat di pemilihan umum mendatang.
Dalam jangka menengah dan panjang, bagi kampus-kampus negeri, sudah saatnya kemandirian keuangan menjadi prioritas dan kebijakan strategis di level universitas. Hal ini bisa dimulai dengan tata kelola ventura atau unit usaha bisnis kampus yang profesional, akuntabel dan berorientasi target sesuai dengan prinsip-prinsip tata keloa perusahaan yang baik. Saya juga merekomendasikan para petinggi kampus untuk sungguh-sungguh mempelajari dan menginternalisasi konsep dan praktik entrepreneurial university yang merupakan kerja sama lintas pemangku kepentingan untuk meningkatkan kemandirian keuangan universitas melalui pengembangan bisnis rintisan, teknologi inovatif, dan komersialiasi hasil penelitian dengan industri ke dalam perencanaan strategis mereka.
26 Januari 2024
One thought on “Dijebak Pinjol di Kampus Negeri”