Anda mungkin familiar dengan nama Faldo Maldini. Mantan ketua BEM UI yang saat ini menjadi politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Saat Faldo maju dalam pemilihan raya Ketua BEM UI, salah satu teman saya memilihnya simply karena nama Maldini adalah rekan setim Ricardo Kakà saat di AC Milan. Kakà adalah pemain favoritnya dan tentu saja AC Milan adalah tim yang ia dukung. Alasan teman saya memilih Faldo bukan karena leadership traits, visi-misi, program ataupun kombinasi dari itu semua. Sesederhana asosiasi nama Maldini dan klub favorit. Suaranya sah dan tidak ada yang bisa menyalahkan dia karena alasan tersebut.
Saya pun demikian. Saya pernah didukung dan dipilih salah satu teman dengan alasan “Gw kasihan sama lo, Tow!”. Saya juga pernah memilih seorang kandidat karena dia adalah teman main saya. Tidak ada keputusan yang rumit menggunakan metode-metode pengambilan keputusan yang rigid.
Pada pemilihan umum 2024 kali ini, Indonesia memilih di antara tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Apalagi pada pemilihan legislatif, kita harus memilih tiga kandidat di antara ratusan opsi. Ketika saya berkeliling dan ngobrol dengan banyak orang di sekitar saya, alasan-alasan sederhana yang tidak njlimet mengemuka.

Seorang penjual bakso memilih Prabowo karena jogetnya. Serius, penjual tersebut benar-benar mengutarakannya sambil joget. Pedagang lain memilih Prabowo karena baginya presiden harus berasal dari militer. Ada yang memilih Ganjar-Mahfud karena Mahfud dianggap murid Gus Dur saat Gus Dur menjabat presiden. Ada yang memilih Anies karena tidak mau memilih Gibran yang songong dan memilih kandidat dari PDIP adalah sebuah kemustahilan baginya.
Sains mengenal fenomena-fenomena ini sebagai “bounded rationality” atau rasionalitas terbatas (Simon, 1955). Rasionalitas terbatas adalah pengambilan keputusan yang didasarkan oleh kriteria tertentu, bisa satu atau beberapa kriteria, yang memuaskan dirinya namun bukan untuk mencari keputusan yang optimal atau terbaik. Hal ini bisa terjadi baik di level individu maupun organisasi. Teori ini adalah perkembangan dari pemikiran Adam Smith “the theory rational choice” yang berarti saat seorang individu atau organisasi rasional, maka mereka akan berperilaku untuk memaksimalkan tujuan atau manfaat bagi kepentingan mereka. Sederhananya, rasionalitas terbatas menjelaskan bahwa kita memiliki keterbatasan kognitif dalam mencari, memproses, memverifikasi dan memilih informasi yang relevan untuk pengambilan keputusan.
Rasionalitas terbatas ini juga mungkin bisa menjelaskan dengan sangat baik mengapa, sampai tulisan ini dirilis, Prabowo-Gibran unggul dan kemungkinan besar akan menjadi presiden dan wakil presiden republik ini.
Gemoy adalah branding atau citra tunggal yang dominan disajikan di seluruh saluran kampanye mereka baik online maupun offline. Ditambah dengan joget dan musik latar jedag jedug yang mudah diingat, “Oke, gas, oke, gas, nomor dua torang gas” menempel dengan sangat baik di benak masyarakat hingga hari H pemilihan. Jika harus menyebut satu kata, apa citra tunggal yang dibangun dua pasangan lain secara konsisten? Gemoy dengan joget dan musiknya mengalahkan citra apapun yang mereka bangun.
Pada pesan kampanye, Prabowo-Gibran memiliki pesan tunggal yang terus diulang di debat terbuka, kampanye maupun rilis media yakni makan siang gratis. Pada debat presiden terakhir kita juga bisa menangkap pesan ini secara konsisten. Apapun pertanyaannya, jawaban mengarah ke “makan siang gratis.” Jika harus menyebut satu kata, apa janji kampanye atau pesan yang dijanjikan dua pasangan lain secara konsisten? Kita bisa jadi tidak mengingat pesan tunggal tersebut atau siapapun yang ditanya bisa memiliki jawaban yang berbeda untuk menyebut satu janji kampanye Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Pada keberlanjutan pemerintahan, pesan bahwa Prabowo adalah sosok tunggal yang layak melanjutkan pemerintahan Jokowi masif disampaikan oleh pejabat publik, tim kampanye dan para pendukungnya. Hal ini dikuatkan dengan bantuan sosial (bansos) di masa kampanye oleh Jokowi dengan citra personalnya. Jokowi memberikan bansos targeted berdasarkan data penerima bansos maupun random dalam kunjungan di daerah. Jokowi presiden yang baik karena memberikan bansos. Prabowo sebagai penerus akan melanjutkan kebaikan Jokowi. Sekarang, kandidat mana yang bisa mengalahkan citra kebaikan ini?
Saya menduga, Prabowo-Gibran (baca: konsultan mereka) memahami dengan sangat baik konsep rasionalitas terbatas ini lalu memetakan dan menarget kelompok-kelompok masyarakat yang jumlahnya dominan untuk memenangkan pemilihan umum. Jumlah yang dominan dari segi kelompok umur, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi dan perilaku konsumsi media. Data-data kelompok umur, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, dan perilaku konsumsi media bisa di-cross check dengan hasil riset para konsultan politik yang dirilis sebelum kampanye. Bahkan, bisa menjadi topik penelitian tersendiri setelah rilis resmi hasil perhitungan pemilihan umum oleh KPU.
Saya mengeluarkan semua dugaan dan tuduhan kecurangan baik yang faktual maupun yang harus diinvestigasi dalam tulisan ini. Saya tidak menyebut hal-hal tersebut tidak ada atau tidak mempengaruhi keputusan memilih masyarakat. Saya belajar bahwa citra dan pesan sederhana yang diulang secara kontinyu dan masif bisa memenangkan kampanye politik kandidat karena kita sebagai manusia memiliki rasionalitas terbatas dalam pengambilan keputusan.
15 Februari 2024.