Balai Belajar Masyarakat

Balai Belajar Masyarakat (BBM) adalah satu ruang publik yang berfungsi sebagai ruang baca, belajar, pertemuan, kelas-kelas mengasah keterampilan dan aktualisasi individu atau komunitas. Iya, perpustakaan tapi nggak sekedar perpustakaan. Coworking space tapi nggak sekedar ruang bekerja.

Sumber: ChatGPT dengan prompt tertentu.

Ruang ini bukan sekadar bangunan, melainkan platform sosial. Sebuah tempat di mana interaksi, pembelajaran, dan pertukaran ide menjadi denyut nadi yang menghidupkan ruang-ruangnya. Setiap sudutnya memiliki nilai, setiap kursi dan mejanya adalah ruang diskusi, dan setiap dindingnya menyerap lalu mengamplifikasi energi dari orang-orang yang datang dengan semangat ingin belajar dan berbagi.

Bayangkan, seorang anak kecil yang bahkan belum bisa membaca, tumbuh di ruang-ruang ini. Di sini, mereka tidak hanya menemukan buku-buku, tapi juga berproses menemukan diri mereka. Mereka bermain, belajar, dan menjelajah dunia pengetahuan di perpustakaan. Ketika mereka beranjak remaja, mereka mulai menggunakan coworking space untuk mengerjakan proyek sekolah, atau mungkin hanya untuk berdiskusi dengan teman-teman mereka tentang ide-ide baru.

Ruang ini menjadi saksi perjalanan hidup mereka. Dari anak-anak hingga dewasa, ruang ini beradaptasi dengan kebutuhan mereka, menjadi tempat untuk upskilling, reskilling, atau bahkan sekadar tempat untuk bertukar pikiran tentang isu-isu sehari-hari. Mereka yang dulunya hanya menjadi peserta, kini menjadi fasilitator, mentor, atau pemimpin diskusi, memberikan kembali apa yang telah mereka pelajari di tempat yang sama.

Imajinasi model coworking space atau perpustakaan besar. Sumber: Pinterest

Ruang ini adalah tempat di mana kehidupan dan pembelajaran berjalan berdampingan. Sebuah tempat di mana setiap individu, dari anak-anak hingga orang tua, bebas menemukan potensi mereka, belajar, dan berkontribusi. Inilah esensi dari Balai Belajar Masyarakat—ruang yang hidup, tumbuh, dan terus berkembang seiring dengan individu-individu yang ada di dalamnya.

Saat saya SMP-SMA, fasilitas seperti ini adalah perpustakaan daerah kabupaten yang sangat dekat dengan alun-alun atau kantor pemerintahan. Namun jika dibangun secara masif, Balai Belajar Masyarakat tidak harus terpaku pada pusat-pusat pemerintahan atau administratif. Ruang-ruang ini bisa hadir di setiap kelurahan atau berbasis distrik (kecamatan), ditempatkan di titik-titik yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Fleksibilitas lokasinya adalah kunci, mengikuti gravitasi pusat penduduk, sehingga mudah dijangkau dan dekat dengan komunitas yang akan menggunakannya. Balai ini bisa ditempatkan di area yang memiliki akses transportasi umum yang baik, memudahkan mobilitas orang-orang yang datang untuk belajar, berdiskusi, atau bekerja.

Sumber: ChatGPT dengan prompt tertentu.

Selain itu, dekatnya lokasi dengan aglomerasi sekolah, pusat pendidikan, atau fasilitas umum lainnya bisa semakin memperkuat fungsinya sebagai tempat berkumpul dan belajar. Sepulang sekolah, anak-anak bisa langsung datang untuk mengerjakan tugas atau membaca, sementara mereka yang bekerja bisa memanfaatkan coworking space yang ada. Pendekatan ini memastikan bahwa Balai Belajar Masyarakat menjadi bagian integral dari ekosistem pendidikan dan komunitas setempat—bukan sekadar bangunan fisik, tapi juga bagian dari jaringan sosial dan budaya yang hidup di sekitarnya

Waktu operasional bisa menyesuaikan dengan sumber daya, kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakatnya termasuk isu pembiayaan. Jika ada Balai Belajar Masyarakat yang aman dan nyaman untuk belajar selama 24 jam misalnya, para penggunanya tidak akan merasakan yang saya rasakan dulu. Saat saya ingin belajar dan mengerjakan tugas hingga larut, saya harus ke warnet (warung internet), begadang dan berkelahi tangan dengan nyamuk-nyamuk di gazebo-gazebo kampus atau harus bayar sekian puluh ribu di restoran siap saji 24 jam sambil membawa colokan tambahan bersama teman-teman senasib sepenanggungan. Menyedihkan.

Tentu, agar Belajar Masyarakat ini terus hidup dan relevan, agenda mingguan dan bulanan sudah terencana sejak setahun sebelumnya. Semua elemen masyarakat dari berbagai latar belakang umur, sosial dan ekonomi bisa berkegiatan sesuai dengan kebutuhan belajar mereka. Semacam agenda-agenda perpustakaan di negara-negara yang masyarakatnya mencintai ilmu dan menyebarluaskan pengetahuannya. Agenda-agenda ini dirancang secara kolaboratif dengan komunitas lokal, praktisi, dan akademisi, memastikan bahwa setiap kegiatan relevan dan berdampak nyata bagi masyarakat. Balai ini tidak hanya sebuah ruang, tapi juga pusat pembelajaran yang terus bergerak sepanjang tahun.

Mimpi dulu, boleh.

Student Loans: A Slippery Slope for Indonesia

This is a shorter English version of my previous post, “The student loan idea is a slippery slope; prove me wrong!” with the same substance. I sent it to the English-based media and failed to be published.

——————————————————————————————————-

The discourse surrounding student loans in Indonesia emerged intensively again after the Minister of Education, Culture, Research, and Technology issued Permendikbud Number 2 of 2024 concerning the Operational Cost Standards for Higher Education. Following this new regulation, several public universities implemented new policies that significantly increased tuition fees. At this point, this idea gained momentum due to rising undergraduate and vocational program costs.

The student loan discourse in Indonesia is a slippery slope. Once this idea becomes a policy, we must be prepared for a series of new problems it might cause. We should oppose this idea for at least three reasons. 

First, when discussing student loans, it is important to look at how this policy has been implemented in the U.S. According to Student Loan Debt Statistics, the student loan policy in the U.S. has led to a total debt of $1.6 trillion, which is used to finance higher education. This amount is equivalent to 25.572 trillion rupiahs at the current exchange rate.

Furthermore, Carlson (2020), in his publication “The U.S. Student Loan Debt Crisis: State Crime or State-Produced Harm?” mentions that student loans, initially promised and designed to accelerate social mobility by increasing higher education enrollment in the U.S. after World War II, have instead resulted in intergenerational losses. Other research showing individual, societal, and national impacts supports these intergenerational losses over the past few decades.

On an individual level, the implications of student loans are stark. Those burdened with such debts have a diminished capacity to embark on entrepreneurial ventures (American Student Assistance, 2015) or secure their first home loans (Federal Reserve, 2019). The reason is simple-they are saddled with the responsibility of repaying their education debt before they can even consider taking on new financial obligations.

Now, picture this scenario unfolding in Indonesia! Fresh graduates, with salaries barely exceeding the regional or city minimum wage, are grappling with tuition debt payments and exorbitant housing prices. The mere thought of pursuing a business idea, which inherently carries more risk than a stable job, seems like a distant dream.

At the societal and national levels, student debt negatively impacts consumption in small and medium-sized businesses (Federal Reserve Bank of Philadelphia, 2015), reduces economic growth, increases financial risk (Federal Reserve, 2018), and diminishes potential assets at retirement age (Rutledge et al., 2015).

Second, student loans negatively impact the well-being and mental health of students. It is hard to find evidence that student loans positively influence students’ well-being, mental health, and academic performance in the United States, the U.K., and several other developed countries. Academics in this field seem to agree that student debt negatively affects the well-being, mental health, and academic performance of students (Ross et al., 2004; Cooke et al., 2006; Walsemann et al., 2015; Kim & Chatterjee, 2018; Richardson et al., 2017; Pisaniello et al., 2019), especially in lower and middle-class groups (Despard et al., 2016).

Lastly, student loans could create moral hazards for the government and state university administrators. In 2010, the Constitutional Court annulled the Education Legal Entity Law, stating that the law had no binding legal force. At that time, Mahfud MD, Chief Justice of the Constitutional Court, stated, “The law tends to shift the state’s responsibility to society to bear the burden of education.”

In 2012, the government and the House of Representatives agreed to pass the Higher Education Law. Activists and civil society concerned about higher education, still feeling the spirit of education liberalization and fearing the release of state responsibility in the bill, opposed its passage. One problematic article uses the phrase “interest-free loans” in one of its articles.

Fast-forward to 2024, and this phrase has become the student loan discourse we are discussing now. The two previous arguments, the student debt crisis, and student well-being, have a series of evidence-based findings. Now, there is a solid reason to think about scenario planning, a method, and technique in strategic management for planning or anticipating what might happen.

The logic is that student loans are a market- or private-based solution when there is a disparity between students’ ability to pay and university tuition fees. The government could justify reducing operational assistance, subsidies, and higher education funding support by stating that “the private sector has also participated in student financing.”

Second, university officials could avoid the responsibility of providing tuition fee reduction assistance for vulnerable groups. Why? Because financing companies cover it. Worse, university administrators classify students into higher tuition fee groups because a fintech company has already cooperated with public universities and officially endorsed them. Does this make sense?

Both of the above are chain reactions and potential moral hazards that may occur when individuals or organizations deliberately take specific actions that are more beneficial because they do not bear the adverse consequences of their decisions.

Hypothetically asking, is it possible to have a low or even zero interest rate for student loans? It is ordered by the Higher Education Law in Paragraph 2 concerning the Fulfillment of Student Rights, Article 76, Paragraph 2(c), “an interest-free loan that must be repaid after graduating and/or obtaining a job.” However, a simulation by Elmira and Suryadarma (2018) concluded that the appropriate interest rate for all parties, namely the government, private sector, and individuals, is 10 % annually. On the other hand, the lowest interest rate in Indonesia currently is Micro People’s Business Credit at 6% per year, with an interest subsidy to national banks from the APBN of IDR 47.8 trillion in 2024.

If the government wants to implement this policy with interest subsidies for student loans, there is no need to bother. Instead of an interest subsidy, add it to the budget allocation for higher education. All the discourse on student loans from government officials deliberately goes against the law’s mandate, and it is crucial to oppose this dangerous idea. 

Disclaimer: This article is a personal opinion and does not reflect the policies of the institution where the author works.

The student loan idea is a slippery slope; prove me wrong!

Pembuka

Wacana student loan di Indonesia menjadi perbincangan yang masif oleh masyarakat saat ITB yang bekerja sama dengan Danacita, perusahaan fintech lending, sengaja memberikan tautan pinjaman online di laman pembayaran biaya kuliah mahasiswa yang sedang kesulitan finansial. Saya pernah membahasnya di tulisan pertama saya, Dijebak Pinjol di Kampus Negeri.

Saya mencoba menelusuri Google Search News dengan modifikasi penelusuran menggunakan fitur custom date. Kita bisa menemukan sumber pertama wacana kebijakan ini adalah dari Presiden Jokowi yang menyampaikannya kepada para eksekutif bank nasional di Istana Negara pada tanggal 15 Maret 2018. Kompas TV dan laman berita Kompas memberitakan, “Saya ingin memberi PR (pekerjaan rumah) kepada Bapak Ibu sekalian. Dengan yang namanya student loan atau kredit pendidikan.”   

Saya penasaran siapa yang membuat pidato tersebut. Apakah wacana tersebut top down? Berarti Jokowi meminta isi pidato yang spesifik menyebut student loan sebagai salah satu inovasi produk perbankan yang dibutuhkan negeri ini. Ataukah bottom up? Penulis pidato yang tentu sudah dapat approval dari eselon I dan menteri memasukkannya sebagai bagian wacana nasional. Anyway.   
 
Wacana ini kemudian mendapatkan tanggapan dari Bank Indonesia dan BRI turut merespon dengan informasi penawaran produk kredit pendidikan untuk mahasiswa master (S2) dan doktoral (S3).

Di tahun 2024 ini dua pejabat publik memberikan restunya terhadap wacana ini. Pertama, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, “Kita juga waspada di negara maju seperti Amerika itu sudah dilakukan dan menimbulkan masalah jangka panjang. LPDP nanti akan merumuskan bagaimana keterjangkauan pinjaman itu sehingga tidak memberatkan student tapi tetap mencegah terjadinya moral hazard dan tetep memberikan afirmasi terutama pada kelompok tidak mampu.” 
 
Kedua, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyampaikan, “Skema yang student friendly, yang memahami kalau sekarang mungkin belum bisa bayar, bayarnya nanti kalau anak ini sudah kerja. Jadi saya sedang mengajak yuk bareng-bareng bikin student loan, seperti di luar negeri banyak………yang diperlukan sekarang S1.”  Saya sengaja berikan tanda bold di pernyataan tersebut karena di sinilah fokus isu ini yakni pembiayaan dengan menggunakan pinjaman berbunga untuk jenjang sarjana dan sederajat.

Isu ini semakin intens dibahas publik (setidaknya di linimasa saya) dengan momentum Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang mengeluarkan Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Setelah peraturan ini terbit, sejumlah universitas negeri menetapkan kebijakan dan peraturan baru yang memperbarui nominal dan klasifikasi kelompok biaya kuliah yang dibebankan kepada para mahasiswanya dengan kecenderungan yang naik secara signifikan. Di titik ini, wacana student loan menemukan momentumnya dengan kenaikan biaya kuliah program sarjana dan vokasi.

Sekilas saja. Saya berikan screenshot penggalan Permendikbud tersebut yang bisa disalahterjemahkan menjadi kebijakan yang fatal yakni Pasal 6 ayat 1-4. Perguruan tinggi dalam peraturannya wajib mengadopsi Kelompok Tarif UKT Kelompok I dan II yang masing-masing hanya setengah dan satu juta rupiah. Namun, berapa kelompok tarif, nominal dan rentang kelompok UKT lain adalah lubang biawak dalam peraturan ini.

Hal ini dibuktikan oleh Universitas Indonesia yang mengadopsi peraturan tersebut ke dalam Peraturan Rektor Universitas Indonesia Nomor 792/SK/R/UI/2024. Kita juga bisa menemukan versi UI/UX friendly-nya di laman Sistem Informasi UKT UI. Lihat jarak nominal UKT Kelompok 2 dengan 3-5. Lompatan tarif macam apakah itu? Apakah UI melanggar aturan? Tidak, karena UI sudah mengadopsi Pemendikbud 2 Tahun 2024 di atas.

Di sisi lain, saya juga bisa menyampaikan bahwa para umbi (analis) dan esmelon (eselon) di sejumlah kementerian dan lembaga negara memang sedang (telah) merebus wacana ini menjadi kebijakan publik. Mohon info A1 ini dirahasiakan!

Sekarang kita sudah selesai dengan penelusuran histori wacana yang memberikan pemahaman bagaimana ide student loan ini bermula dan relevansinya dengan kenaikan biaya kuliah di kampus-kampus nasional belakangan ini. Selanjutnya, mari kita membahas substansi. 

Gagasan Student Loan adalah Slippery Slope

Wacana kebijakan student loan di Indonesia adalah slippery slope. Sekali kebijakan ini disahkan menjadi produk hukum yang akan melindungi legalitas produk finansial di pasar, maka sesungguhnya kita harus bersiap dengan sederet masalah baru yang bisa ditimbulkannya. Kita harus melawan gagasan ini setidaknya karena tiga hal: 

1. Student loan terbukti memicu student debt crisis di Amerika Serikat.
2. Student loan terbukti berdampak negatif pada well-being atau mental health para mahasiswa. 
3. Student loan berpotensi menjadi moral hazard bagi pemerintah dan pengelola universitas negeri.  
 
Student loan terbukti memicu student debt crisis di Amerika Serikat

Saat membahas student loan maka top of mind saya adalah Amerika Serikat (AS). Student loan di AS adalah kebijakan yang telah membawa masyarakatnya memiliki total hutang $1.600.000.000.000 menurut Student Loan Debt Statistics untuk membiayai pendidikan tinggi mereka. Nominal tersebut setara Rp 25.572.640.000.000.000. Singkatnya 25.572 triliun rupiah menurut kurs saat tulisan ini dirilis.

Lebih jauh lagi, Carlson (2020) di publikasinya The U.S. Student Loan Debt Crisis: State Crime or State-Produced Harm? menyebutkan bahwa student loan yang mulanya dijanjikan dan didesain sebagai akserasi mobilitas sosial dengan peningkatan enrollment pendidikan tinggi untuk masyarakat AS setelah perang dunia kedua justru melahirkan kerugian-kerugian lintas generasi. Sejumlah kerugian lintas generasi yang muncul selama beberapa dekade terakhir ini juga didukung oleh sejumlah penelitian lain yang dampaknya terjadi di level individu, masyarakat maupun negara.

Di level individu, mereka yang mengambil student loan memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk membuka bisnis (American Student Assistance, 2015) dan mengambil kredit rumah pertama (Federal Reserve, 2019). Konsekuensi logis kan? Kita harus melunasi sebagian besar atau seluruh hutang pendidikan mereka terlebih dahulu baru bisa menambah hutang-hutang baru.

Bayangkan ini terjadi di Indonesia! Gaji rata-rata freshgraduate yang hanya sekian kali UMR/UMK itu berhadapan dengan cicilan hutang kuliah lalu ketemu harga rumah yang nggak ngotak. Belum lagi membahas, “Kapan nikahin aku Mas?” Nggak mungkin pula berpikir realisasi ide bisnis yang lebih berisiko dibanding jadi pegawai, misalnya.

Di level masyarakat dan negara, student debt berdampak negatif kepada konsumsi masyarakat pada bisnis kecil dan menengah (Federal Reserve Bank of Philadelphia, 2015), mengurangi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan risiko finansial (Federal Reserve, 2018) serta pengurangan potensi aset yang dimiliki saat usia pensiun (Rutledge et.al, 2015).

Di section ini, saya mengundang para ekonom untuk turut membahasnya lebih detail.

Student loan terbukti berdampak negatif pada well-being atau mental health para mahasiswa. 

Ini adalah isu yang menarik bagi milennials dan terutama Gen-Z saat ini yakni isu kesehatan mental dan well-being. Di section ini, saya mengundang para psikolog dan akademisi di bidang ini untuk membahasnya lebih detail.

Namun sekilas saja, saya tidak berhasil menemukan evidence bahwa student loan memiliki pengaruh positif terhadap kesejahteraan, kesehatan mental dan performa akademik para mahasiswa di Amerika Serikat, Inggris dan sejumlah negara maju lain. Para akademisi di bidang ini, sepertinya, sepakat bahwa student debt terbukti berdampak negatif pada well-being, mental health dan academic performance para mahasiswa (Ross et al., 2004; Cooke et al., 2006; Walsemann et al., 2015; Kim and Chatterjee, 2018; Richardson et al., 2017; Pisaniello et al., 2019) terutama pada kelompok masyarakat kelas bawah dan menengah (Despard et al., 2016).

Student loan berpotensi menjadi moral hazard bagi pemerintah dan pengelola universitas negeri.

Di tahun 2010, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan dengan menyatakan bahwa UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kala itu, Mahfud MD yang menjabat sebagai Ketua MK menyatakan, “Undang-undang itu bertendensi mengalihkan tanggung jawab negara kepada masyarakat untuk memikul beban pendidikan.

Di tahun 2012, pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan Undang-undang Pendidikan Tinggi. Para aktivis dan masyarakat sipil peduli pendidikan tinggi yang masih merasakan semangat liberalisasi pendidikan dan mengkhawatirkan pelepasan tanggung jawab negara di RUU tersebut, menolak pengesahannya. Salah satu pasal problematik adalah munculnya frase “pinjaman dana tanpa bunga” pada salah satu pasalnya yang akan saya jelaskan di bawah. Fast forward ke 2024 sekarang, frase tersebut menjadi wacana student loan yang kita bahas saat ini.

Rapat Pengesahan UU Pendidikan Tinggi oleh Komisi X DPR RI bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Jum’at, 13 Juli 2012. Dokumentasi pribadi.

Dua argumen di atas sebelumnya, yakni student-debt crisis dan student well-being, kita temukan sederet evidence-based-nya. Untuk kali ini saya memilih menggunakan cara berpikir scenario planning. Scenario planning adalah metode dan teknik dalam manajemen strategi untuk merencanakan atau mengantisipasi apa yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Berdasarkan apa yang sudah terjadi di tahun 2010 dan 2012, belasan tahun kemudian wacana student loan memiliki indikasi akan direalisasikan. Oleh karena itu, saat ini kita memiliki alasan yang sangat kuat untuk membuat scenario planning bahwa jika student loan ini direalisasikan maka sangat mungkin berdampak atau menimbulkan moral hazard kepada kebijakan para pengelola universitas dan negara ini.

Logikanya adalah student loan adalah solusi berbasis pasar atau swasta saat terjadi ketimpangan kemampuan bayar mahasiswa dengan biaya kuliah yang dibebankan oleh universitas. Negara dalam ini pemerintah sebagai pengelolanya bisa menjustifikasi pengurangan bantuan operasional, subsidi dan dukungan pendanaan pendidikan tinggi dengan “swasta sudah turut hadir dalam bantuan pembiayaan mahasiswa.”

Kedua, para petinggi kampus bisa mengelak dari tanggung jawab penyediaan bantuan pengurangan biaya kuliah bagi kelompok rentan. Kenapa? Karena ditanggung oleh perusahaan pembiayaan. Lebih buruk lagi, pengelola kampus menetapkan mahasiswa tertentu ke golongan UKT kelompok atas karena ada pinjaman online seperti Danacita di ITB dan kampus-kampus lain. Masuk akal?

I smell money...
The Big Short (2015)

Kedua hal di atas adalah reaksi berantai dan merupakan potensi moral hazard yang mungkin terjadi yakni entitas individu atau organisasi sengaja mengambil tindakan tertentu yang lebih menguntungkan karena mereka tidak mendapatkan konsekuensi buruk dari pengambilan keputusannya.

Kalau Zero Percent Student Loan, Apakah Mungkin?

Jika ada ide lanjutan, kalau bunga nol persen, mungkin nggak? Hal itu sesungguhnya diperintahkan oleh Undang-undang Pendidikan Tinggi dalam Pargraf 2 tentang Pemenuhan Hak Mahasiswa pasal 76 ayat 2(c) yang berbunyi, “pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.”

Namun simulasi oleh Elmira dan Suryadarma (2018) dalam rilis The SMERU Research Institute yang berjudul “Financing Higher Education in Indonesia: Assessing the Feasibility of an Income-Contingent Loan System” menyimpulkan interest rate yang feasible bagi semua pihak yakni pemerintah, swasta dan individu adalah di angka 10%. Di sisi lain, tingkat bunga terendah di Indonesia saat ini adalah Kredit Usaha Rakyat Mikro sebesar 6% per tahun dengan subsidi bunganya kepada perbankan nasional dari APBN sebesar Rp 47,8 triliun rupiah di tahun 2024.

Jika pemerintah hendak implementasi kebijakan ini dengan subsidi bunga untuk student loan, menurut saya nggak perlu ribet. Daripada jadi subsidi bunga, tambahkan saja alokasi anggaran untuk pendidikan tinggi. Sejatinya, semua wacana student loan dari para pejabat di atas, sengaja melawan amanat undang-undang.
 
Penutup 
 
Terakhir, bagi pembaca tulisan ini yang percaya kepada Hari Akhir sebagai bagian dari keimanan, student loan ini riba. Islam memberikan akad Qardul Hasan untuk hal seperti ini yakni pinjaman harta untuk kebaikan tanpa imbalan. Saya pernah mendapatkan tawaran dengan akad seperti itu. Sayangnya saya bukan ahli ekonomi atau keuangan syariah. Saya berharap ada kolega yang bisa membahas ini. Namun, solusi tersebut bukanlah solusi struktural dan komprehensif yang menjawab akar masalah kenaikan biaya pendidikan tinggi di negeri ini. Saya pernah merekomendasikan solusinya secara singkat di bagian akhir tulisan pertama saya tentang student loan
 
Wacana student loan ini adalah red line bagi saya. Saya dengan senang hati bersedia berantem gagasan dengan para pengusung dan pendukung ide ini jika mereka kukuh membahas dan menyiapkan implementasinya. Ini adalah peringatan kedua setelah tulisan pertama saya. Para pengambil kebijakan tidak bisa berpaling dari sederet evidence-based di atas.

Saya berharap para pembaca dan masyarakat memiliki sikap yang sama dengan saya.  
 

22 Mei 2024
Thanthowy Syamsuddin 
Kepala Departemen Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa BEM FEUI 2011 
Ketua BEM FEUI 2012 
Kepala Departemen Kajian Strategis BEM UI 2013 
Dosen Universitas Airlangga (2018-nggak tau sampe kapan

Disclaimer:
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Rasionalitas Terbatas dalam Pemilihan Umum

Anda mungkin familiar dengan nama Faldo Maldini. Mantan ketua BEM UI yang saat ini menjadi politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Saat Faldo maju dalam pemilihan raya Ketua BEM UI, salah satu teman saya memilihnya simply karena nama Maldini adalah rekan setim Ricardo Kakà saat di AC Milan. Kakà adalah pemain favoritnya dan tentu saja AC Milan adalah tim yang ia dukung. Alasan teman saya memilih Faldo bukan karena leadership traits, visi-misi, program ataupun kombinasi dari itu semua. Sesederhana asosiasi nama Maldini dan klub favorit. Suaranya sah dan tidak ada yang bisa menyalahkan dia karena alasan tersebut.

Saya pun demikian. Saya pernah didukung dan dipilih salah satu teman dengan alasan “Gw kasihan sama lo, Tow!”. Saya juga pernah memilih seorang kandidat karena dia adalah teman main saya. Tidak ada keputusan yang rumit menggunakan metode-metode pengambilan keputusan yang rigid.

Pada pemilihan umum 2024 kali ini, Indonesia memilih di antara tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Apalagi pada pemilihan legislatif, kita harus memilih tiga kandidat di antara ratusan opsi. Ketika saya berkeliling dan ngobrol dengan banyak orang di sekitar saya, alasan-alasan sederhana yang tidak njlimet mengemuka.

Foto Kandidat Calon Presiden-Wakil Presiden. Sumber: KPU.

Seorang penjual bakso memilih Prabowo karena jogetnya. Serius, penjual tersebut benar-benar mengutarakannya sambil joget. Pedagang lain memilih Prabowo karena baginya presiden harus berasal dari militer. Ada yang memilih Ganjar-Mahfud karena Mahfud dianggap murid Gus Dur saat Gus Dur menjabat presiden. Ada yang memilih Anies karena tidak mau memilih Gibran yang songong dan memilih kandidat dari PDIP adalah sebuah kemustahilan baginya.

Sains mengenal fenomena-fenomena ini sebagai “bounded rationality” atau rasionalitas terbatas (Simon, 1955). Rasionalitas terbatas adalah pengambilan keputusan yang didasarkan oleh kriteria tertentu, bisa satu atau beberapa kriteria, yang memuaskan dirinya namun bukan untuk mencari keputusan yang optimal atau terbaik. Hal ini bisa terjadi baik di level individu maupun organisasi. Teori ini adalah perkembangan dari pemikiran Adam Smith “the theory rational choice” yang berarti saat seorang individu atau organisasi rasional, maka mereka akan berperilaku untuk memaksimalkan tujuan atau manfaat bagi kepentingan mereka. Sederhananya, rasionalitas terbatas menjelaskan bahwa kita memiliki keterbatasan kognitif dalam mencari, memproses, memverifikasi dan memilih informasi yang relevan untuk pengambilan keputusan.

Rasionalitas terbatas ini juga mungkin bisa menjelaskan dengan sangat baik mengapa, sampai tulisan ini dirilis, Prabowo-Gibran unggul dan kemungkinan besar akan menjadi presiden dan wakil presiden republik ini.

Gemoy adalah branding atau citra tunggal yang dominan disajikan di  seluruh saluran kampanye mereka baik online maupun offline. Ditambah dengan joget dan musik latar jedag jedug yang mudah diingat, “Oke, gas, oke, gas, nomor dua torang gas” menempel dengan sangat baik di benak masyarakat hingga hari H pemilihan. Jika harus menyebut satu kata, apa citra tunggal yang dibangun dua pasangan lain secara konsisten? Gemoy dengan joget dan musiknya mengalahkan citra apapun yang mereka bangun.

Pada pesan kampanye, Prabowo-Gibran memiliki pesan tunggal yang terus diulang di debat terbuka, kampanye maupun rilis media yakni makan siang gratis. Pada debat presiden terakhir kita juga bisa menangkap pesan ini secara konsisten. Apapun pertanyaannya, jawaban mengarah ke “makan siang gratis.” Jika harus menyebut satu kata, apa janji kampanye atau pesan yang dijanjikan dua pasangan lain secara konsisten? Kita bisa jadi tidak mengingat pesan tunggal tersebut atau siapapun yang ditanya bisa memiliki jawaban yang berbeda untuk menyebut satu janji kampanye Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Pada keberlanjutan pemerintahan, pesan bahwa Prabowo adalah sosok tunggal yang layak melanjutkan pemerintahan Jokowi masif disampaikan oleh pejabat publik, tim kampanye dan para pendukungnya. Hal ini dikuatkan dengan bantuan sosial (bansos) di masa kampanye oleh Jokowi dengan citra personalnya. Jokowi memberikan bansos targeted berdasarkan data penerima bansos maupun random dalam kunjungan di daerah. Jokowi presiden yang baik karena memberikan bansos. Prabowo sebagai penerus akan melanjutkan kebaikan Jokowi. Sekarang, kandidat mana yang bisa mengalahkan citra kebaikan ini?

Saya menduga, Prabowo-Gibran (baca: konsultan mereka) memahami dengan sangat baik konsep rasionalitas terbatas ini lalu memetakan dan menarget kelompok-kelompok masyarakat yang jumlahnya dominan untuk memenangkan pemilihan umum. Jumlah yang dominan dari segi kelompok umur, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi dan perilaku konsumsi media. Data-data kelompok umur, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, dan perilaku konsumsi media bisa di-cross check dengan hasil riset para konsultan politik yang dirilis sebelum kampanye. Bahkan, bisa menjadi topik penelitian tersendiri setelah rilis resmi hasil perhitungan pemilihan umum oleh KPU.

Saya mengeluarkan semua dugaan dan tuduhan kecurangan baik yang faktual maupun yang harus diinvestigasi dalam tulisan ini. Saya tidak menyebut hal-hal tersebut tidak ada atau tidak mempengaruhi keputusan memilih masyarakat. Saya belajar bahwa citra dan pesan sederhana yang diulang secara kontinyu dan masif bisa memenangkan kampanye politik kandidat karena kita sebagai manusia memiliki rasionalitas terbatas dalam pengambilan keputusan.

15 Februari 2024.