INPRES No. 1 Tahun 2025: Penggerus Hak Konstitusional Pendidikan

Belum selesai huru-hara pemangkasan anggaran di sektor-sektor krusial setelah terbitnya INPRES No. 1 Tahun 2025, Prabowo kembali menegaskan kelanjutan pemangkasan anggaran ini hingga tiga tahap sebagaimana pidato di HUT partainya (15 Februari 2025). Pemotongan ini semakin mengancam alokasi pendidikan yang, berdasarkan konstitusi, seharusnya dilindungi.

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan bahwa negara harus mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN untuk pendidikan. Namun, setelah serangkaian pemangkasan, alokasi pendidikan dalam APBN 2025 yang semula Rp722 triliun kini hanya tersisa Rp607,4 triliun—turun drastis menjadi 16,77 persen dari total belanja negara sebesar Rp3.621,3 triliun. Bahkan jika MBG (Rp71 triliun) tetap dihitung sebagai bagian dari pendidikan, alokasi tetap di bawah batas konstitusional, hanya mencapai 18,73 persen.

Prinsip konstitusional ini telah ditegaskan dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk dalam Putusan Nomor 13/PUU-VI/2008, yang menegaskan bahwa pemerintah wajib memenuhi alokasi minimal tersebut dalam setiap penyusunan APBN. Kini, dengan defisit anggaran pendidikan sebesar Rp116,8 triliun dari batas minimal konstitusi, pemangkasan ini bukan hanya persoalan efisiensi fiskal, melainkan pelanggaran terhadap hak pendidikan yang dijamin UUD 1945.

Preseden penting terjadi pada tahun 2008, ketika sejumlah warga menggugat Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2008 karena hanya mengalokasikan 15,6 persen dari total APBN untuk pendidikan, jauh dari batas minimal yang ditetapkan dalam UUD 1945. Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya, menegaskan bahwa ketidaksesuaian ini merupakan pelanggaran konstitusi dan memerintahkan pemerintah untuk memastikan kepatuhan terhadap amanat Pasal 31 UUD 1945 mulai tahun berikutnya. Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani Indrawati, bahkan mengakui pentingnya menyesuaikan rencana anggaran pendidikan dengan amanat konstitusi.

Namun, kondisi serupa kini terulang kembali dengan terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Instruksi ini mengarahkan pemangkasan anggaran di hampir seluruh kementerian dan Lembaga (K/L), termasuk fungsi Pendidikan di seluruh K/L, sementara anggaran K/L tertentu termasuk DPR tetap tidak tersentuh efisiensi tersebut.

Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, alokasi anggaran pendidikan bukan sekadar aspek teknis fiskal, melainkan kewajiban konstitusional yang ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Pemerintah diwajibkan untuk mengalokasikan minimal 20 persen dari APBN untuk pendidikan. Namun, dengan terbitnya Instruksi Presiden (INPRES) No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja, terjadi pemangkasan besar terhadap anggaran pendidikan yang menyebabkan alokasi tersebut jatuh di bawah batas konstitusional.

Setelah sejumlah K/L mendapatkan Surat Menteri Keuangan RI Nomor S-37/MK.02/2025 tanggal 24 Januari 2025 hal Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2025,  ditemukan bahwa total pemangkasan anggaran pendidikan di empat kementerian/lembaga utama, di luar pendidikan kedinasan di K/L lainnya, mencapai Rp 43,6 triliun. Pemotongan terbesar terjadi pada Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) yang kehilangan Rp 22,5 triliun, diikuti oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang mengalami pengurangan sebesar Rp 8 triliun. Kementerian Kebudayaan juga tidak luput dari kebijakan ini dengan pemangkasan sebesar Rp 1,1 triliun, sementara Kementerian Agama, yang menaungi pendidikan Islam untuk sekolah madrasah, pesantren, dan PTN Islam, menghadapi pengurangan anggaran sebesar Rp 11,5 triliun.

Akibat pemangkasan ini, alokasi pendidikan dalam APBN 2025 yang seharusnya mencapai 20 persen turun hingga 18,7 persen (termasuk anggaran MBG) atau bahkan lebih parah  sehingga berada di bawah batas konstitusional yang telah ditegaskan dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam sejarah kebijakan fiskal Indonesia, pelanggaran terhadap amanat alokasi minimal anggaran pendidikan pernah menjadi objek gugatan terhadap UU APBN-P 2008 di Mahkamah Konstitusi, di mana pemerintah saat itu hanya mengalokasikan 15,6 persen dari APBN untuk pendidikan. Putusan MK Nomor 13/PUU-VI/2008 kemudian memperingatkan pemerintah agar memastikan anggaran pendidikan tidak boleh kurang dari batas minimal konstitusional, sebuah peringatan yang kini kembali relevan dalam konteks kebijakan efisiensi belanja negara tahun 2025.

Pemerintah mungkin akan mengklaim bahwa MBG masih termasuk dalam anggaran pendidikan, sehingga total anggaran tetap di atas 20%. Namun, perhitungan ini perlu dikritisi karena MBG lebih merupakan program bantuan sosial dibandingkan investasi langsung dalam sistem pendidikan. Faktanya, pemangkasan Rp43,6T tetap berdampak pada beasiswa, riset akademik, tunjangan guru dan dosen, pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur pendidikan serta operasional sekolah dan universitas di seluruh Indonesia.

Selain itu, kebijakan efisiensi ini juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai distribusi beban pemangkasan anggaran di sektor lain seperti anggaran Badan Intelijen Negara dan DPR tetap aman tanpa pemotongan. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa kebijakan efisiensi tidak dilakukan secara proporsional, melainkan membebani sektor pendidikan lebih besar dibandingkan sektor lainnya yang seharusnya turut menanggung beban penghematan negara. Jika pemangkasan ini dibiarkan tanpa koreksi, maka pemerintah secara nyata tidak hanya mengabaikan amanat konstitusi tetapi juga mengulangi kesalahan kebijakan yang sebelumnya telah diperbaiki melalui putusan MK.

Pemerintah harus bertanggung jawab atas transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran negara. Setiap rupiah dalam APBN harus mencerminkan komitmen terhadap hajat hidup orang banyak, bukan justru mengorbankan sektor-sektor esensial seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar. Pemangkasan anggaran tidak boleh menjadi dalih untuk melemahkan investasi jangka panjang dalam pembangunan sumber daya manusia. Jika efisiensi benar-benar menjadi tujuan, maka pemerintah seharusnya memangkas anggaran yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat, seperti pengurangan jumlah staf khusus presiden, alokasi belanja birokrasi yang berlebihan, dan penyusunan kabinet gendut yang justru menambah inefisiensi.

Di sisi lain, transparansi pengelolaan anggaran harus diperkuat agar setiap keputusan yang menyangkut pengurangan dana pendidikan bisa diuji oleh publik. Pemerintah harus menjelaskan dengan terbuka mengapa pendidikan dijadikan objek pemotongan besar. DPR, yang tidak kena potong anggaran, bisa meminta penjelasan kepada pemerintah atas kebijakan serampangan ini. Di sisi lain, kemungkinan menguji INPRES ini ke PTUN terbuka jika ada sekolah dan universitas yang mengalami defisit operasional atau penerima beasiswa yang kehilangan haknya terhadap keputusan administratif ini.

Apabila langkah-langkah di atas tidak dilakukan, maka pemangkasan anggaran pendidikan akan menjadi preseden buruk bagi kebijakan fiskal di masa depan, mengorbankan hak rakyat atas pendidikan yang layak dan berkualitas. Pendidikan harus kembali menjadi prioritas utama dalam anggaran negara, bukan sekadar angka dalam laporan fiskal yang bisa dikurangi tanpa perhitungan jangka panjang.


Lampiran Perhitungan Anggaran Pendidikan dan Pelanggaran Batas Konstitusional (APBN 2025)

1. Standar Konstitusional Alokasi Pendidikan

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan bahwa alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari total belanja negara (APBN). Dengan total belanja negara dalam APBN 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun, maka seharusnya anggaran pendidikan minimal…

                   20\% \times 3.621,3T = 724,26T 

Seharusnya, anggaran pendidikan minimal Rp724,26 triliun agar sesuai dengan konstitusi…


2. Anggaran Pendidikan Setelah Pemangkasan

Sebelum pemangkasan, anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp722 triliun. Namun, setelah pemotongan untuk MBG dan efisiensi INPRES No. 1 Tahun 2025, anggaran yang tersisa menjadi…

                    722T - 71T - 43,6T = 607,4T 

Anggaran pendidikan setelah pemangkasan hanya Rp607,4 triliun


3. Hitung Persentase Anggaran Pendidikan Setelah Pemangkasan

Untuk mengetahui berapa persen anggaran pendidikan setelah pemangkasan dibandingkan dengan total belanja negara, digunakan perhitungan…

                      \left( \frac{607,4T}{3.621,3T} \right) \times 100\% = 16,77\% 

Hasilnya, anggaran pendidikan turun menjadi 16,77% dari total belanja negara, jauh di bawah batas konstitusional 20%…


4. Jika MBG Dihitung Sebagai Bagian dari Anggaran Pendidikan

Jika pemerintah tetap memasukkan MBG sebesar Rp71T dalam anggaran pendidikan, maka perhitungannya menjadi…

                      607,4T + 71T = 678,4T 

Persentase anggaran pendidikan terhadap total belanja negara setelah memasukkan MBG menjadi…

                    \left( \frac{678,4T}{3.621,3T} \right) \times 100\% = 18,73\% 

Bahkan jika MBG tetap dihitung sebagai bagian dari pendidikan, anggaran tetap hanya 18,73%, masih di bawah 20% yang diwajibkan konstitusi…


5. Defisit Anggaran Pendidikan dari Standar Konstitusional

Karena batas minimal konstitusional adalah Rp724,26 triliun, maka kekurangan anggaran pendidikan setelah pemangkasan bisa dihitung sebagai berikut…

Tanpa MBG:

                   724,26T - 607,4T = 116,86T 

Dengan MBG: 724,26T - 678,4T = 45,86T

Jadi, setelah pemangkasan INPRES No. 1/2025, kekurangan anggaran pendidikan dari batas konstitusi berkisar antara Rp45,86 triliun (jika MBG dihitung) hingga Rp116,86 triliun (tanpa MBG).


Kesimpulan Matematis

\text{Tanpa MBG: } 16,77\% 
\text{Dengan MBG: } 18,73\%
\text{Defisit Anggaran: } 45,86T - 116,86T

Angka ini menunjukkan bahwa jika pemerintah mengklaim bahwa “anggaran pendidikan tetap aman” ternyata tidak akurat dan dapat dibantah secara matematis.

Balai Belajar Masyarakat

Balai Belajar Masyarakat (BBM) adalah satu ruang publik yang berfungsi sebagai ruang baca, belajar, pertemuan, kelas-kelas mengasah keterampilan dan aktualisasi individu atau komunitas. Iya, perpustakaan tapi nggak sekedar perpustakaan. Coworking space tapi nggak sekedar ruang bekerja.

Sumber: ChatGPT dengan prompt tertentu.

Ruang ini bukan sekadar bangunan, melainkan platform sosial. Sebuah tempat di mana interaksi, pembelajaran, dan pertukaran ide menjadi denyut nadi yang menghidupkan ruang-ruangnya. Setiap sudutnya memiliki nilai, setiap kursi dan mejanya adalah ruang diskusi, dan setiap dindingnya menyerap lalu mengamplifikasi energi dari orang-orang yang datang dengan semangat ingin belajar dan berbagi.

Bayangkan, seorang anak kecil yang bahkan belum bisa membaca, tumbuh di ruang-ruang ini. Di sini, mereka tidak hanya menemukan buku-buku, tapi juga berproses menemukan diri mereka. Mereka bermain, belajar, dan menjelajah dunia pengetahuan di perpustakaan. Ketika mereka beranjak remaja, mereka mulai menggunakan coworking space untuk mengerjakan proyek sekolah, atau mungkin hanya untuk berdiskusi dengan teman-teman mereka tentang ide-ide baru.

Ruang ini menjadi saksi perjalanan hidup mereka. Dari anak-anak hingga dewasa, ruang ini beradaptasi dengan kebutuhan mereka, menjadi tempat untuk upskilling, reskilling, atau bahkan sekadar tempat untuk bertukar pikiran tentang isu-isu sehari-hari. Mereka yang dulunya hanya menjadi peserta, kini menjadi fasilitator, mentor, atau pemimpin diskusi, memberikan kembali apa yang telah mereka pelajari di tempat yang sama.

Imajinasi model coworking space atau perpustakaan besar. Sumber: Pinterest

Ruang ini adalah tempat di mana kehidupan dan pembelajaran berjalan berdampingan. Sebuah tempat di mana setiap individu, dari anak-anak hingga orang tua, bebas menemukan potensi mereka, belajar, dan berkontribusi. Inilah esensi dari Balai Belajar Masyarakat—ruang yang hidup, tumbuh, dan terus berkembang seiring dengan individu-individu yang ada di dalamnya.

Saat saya SMP-SMA, fasilitas seperti ini adalah perpustakaan daerah kabupaten yang sangat dekat dengan alun-alun atau kantor pemerintahan. Namun jika dibangun secara masif, Balai Belajar Masyarakat tidak harus terpaku pada pusat-pusat pemerintahan atau administratif. Ruang-ruang ini bisa hadir di setiap kelurahan atau berbasis distrik (kecamatan), ditempatkan di titik-titik yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Fleksibilitas lokasinya adalah kunci, mengikuti gravitasi pusat penduduk, sehingga mudah dijangkau dan dekat dengan komunitas yang akan menggunakannya. Balai ini bisa ditempatkan di area yang memiliki akses transportasi umum yang baik, memudahkan mobilitas orang-orang yang datang untuk belajar, berdiskusi, atau bekerja.

Sumber: ChatGPT dengan prompt tertentu.

Selain itu, dekatnya lokasi dengan aglomerasi sekolah, pusat pendidikan, atau fasilitas umum lainnya bisa semakin memperkuat fungsinya sebagai tempat berkumpul dan belajar. Sepulang sekolah, anak-anak bisa langsung datang untuk mengerjakan tugas atau membaca, sementara mereka yang bekerja bisa memanfaatkan coworking space yang ada. Pendekatan ini memastikan bahwa Balai Belajar Masyarakat menjadi bagian integral dari ekosistem pendidikan dan komunitas setempat—bukan sekadar bangunan fisik, tapi juga bagian dari jaringan sosial dan budaya yang hidup di sekitarnya

Waktu operasional bisa menyesuaikan dengan sumber daya, kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakatnya termasuk isu pembiayaan. Jika ada Balai Belajar Masyarakat yang aman dan nyaman untuk belajar selama 24 jam misalnya, para penggunanya tidak akan merasakan yang saya rasakan dulu. Saat saya ingin belajar dan mengerjakan tugas hingga larut, saya harus ke warnet (warung internet), begadang dan berkelahi tangan dengan nyamuk-nyamuk di gazebo-gazebo kampus atau harus bayar sekian puluh ribu di restoran siap saji 24 jam sambil membawa colokan tambahan bersama teman-teman senasib sepenanggungan. Menyedihkan.

Tentu, agar Belajar Masyarakat ini terus hidup dan relevan, agenda mingguan dan bulanan sudah terencana sejak setahun sebelumnya. Semua elemen masyarakat dari berbagai latar belakang umur, sosial dan ekonomi bisa berkegiatan sesuai dengan kebutuhan belajar mereka. Semacam agenda-agenda perpustakaan di negara-negara yang masyarakatnya mencintai ilmu dan menyebarluaskan pengetahuannya. Agenda-agenda ini dirancang secara kolaboratif dengan komunitas lokal, praktisi, dan akademisi, memastikan bahwa setiap kegiatan relevan dan berdampak nyata bagi masyarakat. Balai ini tidak hanya sebuah ruang, tapi juga pusat pembelajaran yang terus bergerak sepanjang tahun.

Mimpi dulu, boleh.