INPRES No. 1 Tahun 2025: Penggerus Hak Konstitusional Pendidikan

Belum selesai huru-hara pemangkasan anggaran di sektor-sektor krusial setelah terbitnya INPRES No. 1 Tahun 2025, Prabowo kembali menegaskan kelanjutan pemangkasan anggaran ini hingga tiga tahap sebagaimana pidato di HUT partainya (15 Februari 2025). Pemotongan ini semakin mengancam alokasi pendidikan yang, berdasarkan konstitusi, seharusnya dilindungi.

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan bahwa negara harus mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN untuk pendidikan. Namun, setelah serangkaian pemangkasan, alokasi pendidikan dalam APBN 2025 yang semula Rp722 triliun kini hanya tersisa Rp607,4 triliun—turun drastis menjadi 16,77 persen dari total belanja negara sebesar Rp3.621,3 triliun. Bahkan jika MBG (Rp71 triliun) tetap dihitung sebagai bagian dari pendidikan, alokasi tetap di bawah batas konstitusional, hanya mencapai 18,73 persen.

Prinsip konstitusional ini telah ditegaskan dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk dalam Putusan Nomor 13/PUU-VI/2008, yang menegaskan bahwa pemerintah wajib memenuhi alokasi minimal tersebut dalam setiap penyusunan APBN. Kini, dengan defisit anggaran pendidikan sebesar Rp116,8 triliun dari batas minimal konstitusi, pemangkasan ini bukan hanya persoalan efisiensi fiskal, melainkan pelanggaran terhadap hak pendidikan yang dijamin UUD 1945.

Preseden penting terjadi pada tahun 2008, ketika sejumlah warga menggugat Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2008 karena hanya mengalokasikan 15,6 persen dari total APBN untuk pendidikan, jauh dari batas minimal yang ditetapkan dalam UUD 1945. Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya, menegaskan bahwa ketidaksesuaian ini merupakan pelanggaran konstitusi dan memerintahkan pemerintah untuk memastikan kepatuhan terhadap amanat Pasal 31 UUD 1945 mulai tahun berikutnya. Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani Indrawati, bahkan mengakui pentingnya menyesuaikan rencana anggaran pendidikan dengan amanat konstitusi.

Namun, kondisi serupa kini terulang kembali dengan terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Instruksi ini mengarahkan pemangkasan anggaran di hampir seluruh kementerian dan Lembaga (K/L), termasuk fungsi Pendidikan di seluruh K/L, sementara anggaran K/L tertentu termasuk DPR tetap tidak tersentuh efisiensi tersebut.

Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, alokasi anggaran pendidikan bukan sekadar aspek teknis fiskal, melainkan kewajiban konstitusional yang ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Pemerintah diwajibkan untuk mengalokasikan minimal 20 persen dari APBN untuk pendidikan. Namun, dengan terbitnya Instruksi Presiden (INPRES) No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja, terjadi pemangkasan besar terhadap anggaran pendidikan yang menyebabkan alokasi tersebut jatuh di bawah batas konstitusional.

Setelah sejumlah K/L mendapatkan Surat Menteri Keuangan RI Nomor S-37/MK.02/2025 tanggal 24 Januari 2025 hal Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2025,  ditemukan bahwa total pemangkasan anggaran pendidikan di empat kementerian/lembaga utama, di luar pendidikan kedinasan di K/L lainnya, mencapai Rp 43,6 triliun. Pemotongan terbesar terjadi pada Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) yang kehilangan Rp 22,5 triliun, diikuti oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang mengalami pengurangan sebesar Rp 8 triliun. Kementerian Kebudayaan juga tidak luput dari kebijakan ini dengan pemangkasan sebesar Rp 1,1 triliun, sementara Kementerian Agama, yang menaungi pendidikan Islam untuk sekolah madrasah, pesantren, dan PTN Islam, menghadapi pengurangan anggaran sebesar Rp 11,5 triliun.

Akibat pemangkasan ini, alokasi pendidikan dalam APBN 2025 yang seharusnya mencapai 20 persen turun hingga 18,7 persen (termasuk anggaran MBG) atau bahkan lebih parah  sehingga berada di bawah batas konstitusional yang telah ditegaskan dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam sejarah kebijakan fiskal Indonesia, pelanggaran terhadap amanat alokasi minimal anggaran pendidikan pernah menjadi objek gugatan terhadap UU APBN-P 2008 di Mahkamah Konstitusi, di mana pemerintah saat itu hanya mengalokasikan 15,6 persen dari APBN untuk pendidikan. Putusan MK Nomor 13/PUU-VI/2008 kemudian memperingatkan pemerintah agar memastikan anggaran pendidikan tidak boleh kurang dari batas minimal konstitusional, sebuah peringatan yang kini kembali relevan dalam konteks kebijakan efisiensi belanja negara tahun 2025.

Pemerintah mungkin akan mengklaim bahwa MBG masih termasuk dalam anggaran pendidikan, sehingga total anggaran tetap di atas 20%. Namun, perhitungan ini perlu dikritisi karena MBG lebih merupakan program bantuan sosial dibandingkan investasi langsung dalam sistem pendidikan. Faktanya, pemangkasan Rp43,6T tetap berdampak pada beasiswa, riset akademik, tunjangan guru dan dosen, pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur pendidikan serta operasional sekolah dan universitas di seluruh Indonesia.

Selain itu, kebijakan efisiensi ini juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai distribusi beban pemangkasan anggaran di sektor lain seperti anggaran Badan Intelijen Negara dan DPR tetap aman tanpa pemotongan. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa kebijakan efisiensi tidak dilakukan secara proporsional, melainkan membebani sektor pendidikan lebih besar dibandingkan sektor lainnya yang seharusnya turut menanggung beban penghematan negara. Jika pemangkasan ini dibiarkan tanpa koreksi, maka pemerintah secara nyata tidak hanya mengabaikan amanat konstitusi tetapi juga mengulangi kesalahan kebijakan yang sebelumnya telah diperbaiki melalui putusan MK.

Pemerintah harus bertanggung jawab atas transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran negara. Setiap rupiah dalam APBN harus mencerminkan komitmen terhadap hajat hidup orang banyak, bukan justru mengorbankan sektor-sektor esensial seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar. Pemangkasan anggaran tidak boleh menjadi dalih untuk melemahkan investasi jangka panjang dalam pembangunan sumber daya manusia. Jika efisiensi benar-benar menjadi tujuan, maka pemerintah seharusnya memangkas anggaran yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat, seperti pengurangan jumlah staf khusus presiden, alokasi belanja birokrasi yang berlebihan, dan penyusunan kabinet gendut yang justru menambah inefisiensi.

Di sisi lain, transparansi pengelolaan anggaran harus diperkuat agar setiap keputusan yang menyangkut pengurangan dana pendidikan bisa diuji oleh publik. Pemerintah harus menjelaskan dengan terbuka mengapa pendidikan dijadikan objek pemotongan besar. DPR, yang tidak kena potong anggaran, bisa meminta penjelasan kepada pemerintah atas kebijakan serampangan ini. Di sisi lain, kemungkinan menguji INPRES ini ke PTUN terbuka jika ada sekolah dan universitas yang mengalami defisit operasional atau penerima beasiswa yang kehilangan haknya terhadap keputusan administratif ini.

Apabila langkah-langkah di atas tidak dilakukan, maka pemangkasan anggaran pendidikan akan menjadi preseden buruk bagi kebijakan fiskal di masa depan, mengorbankan hak rakyat atas pendidikan yang layak dan berkualitas. Pendidikan harus kembali menjadi prioritas utama dalam anggaran negara, bukan sekadar angka dalam laporan fiskal yang bisa dikurangi tanpa perhitungan jangka panjang.


Lampiran Perhitungan Anggaran Pendidikan dan Pelanggaran Batas Konstitusional (APBN 2025)

1. Standar Konstitusional Alokasi Pendidikan

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan bahwa alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari total belanja negara (APBN). Dengan total belanja negara dalam APBN 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun, maka seharusnya anggaran pendidikan minimal…

                   20\% \times 3.621,3T = 724,26T 

Seharusnya, anggaran pendidikan minimal Rp724,26 triliun agar sesuai dengan konstitusi…


2. Anggaran Pendidikan Setelah Pemangkasan

Sebelum pemangkasan, anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp722 triliun. Namun, setelah pemotongan untuk MBG dan efisiensi INPRES No. 1 Tahun 2025, anggaran yang tersisa menjadi…

                    722T - 71T - 43,6T = 607,4T 

Anggaran pendidikan setelah pemangkasan hanya Rp607,4 triliun


3. Hitung Persentase Anggaran Pendidikan Setelah Pemangkasan

Untuk mengetahui berapa persen anggaran pendidikan setelah pemangkasan dibandingkan dengan total belanja negara, digunakan perhitungan…

                      \left( \frac{607,4T}{3.621,3T} \right) \times 100\% = 16,77\% 

Hasilnya, anggaran pendidikan turun menjadi 16,77% dari total belanja negara, jauh di bawah batas konstitusional 20%…


4. Jika MBG Dihitung Sebagai Bagian dari Anggaran Pendidikan

Jika pemerintah tetap memasukkan MBG sebesar Rp71T dalam anggaran pendidikan, maka perhitungannya menjadi…

                      607,4T + 71T = 678,4T 

Persentase anggaran pendidikan terhadap total belanja negara setelah memasukkan MBG menjadi…

                    \left( \frac{678,4T}{3.621,3T} \right) \times 100\% = 18,73\% 

Bahkan jika MBG tetap dihitung sebagai bagian dari pendidikan, anggaran tetap hanya 18,73%, masih di bawah 20% yang diwajibkan konstitusi…


5. Defisit Anggaran Pendidikan dari Standar Konstitusional

Karena batas minimal konstitusional adalah Rp724,26 triliun, maka kekurangan anggaran pendidikan setelah pemangkasan bisa dihitung sebagai berikut…

Tanpa MBG:

                   724,26T - 607,4T = 116,86T 

Dengan MBG: 724,26T - 678,4T = 45,86T

Jadi, setelah pemangkasan INPRES No. 1/2025, kekurangan anggaran pendidikan dari batas konstitusi berkisar antara Rp45,86 triliun (jika MBG dihitung) hingga Rp116,86 triliun (tanpa MBG).


Kesimpulan Matematis

\text{Tanpa MBG: } 16,77\% 
\text{Dengan MBG: } 18,73\%
\text{Defisit Anggaran: } 45,86T - 116,86T

Angka ini menunjukkan bahwa jika pemerintah mengklaim bahwa “anggaran pendidikan tetap aman” ternyata tidak akurat dan dapat dibantah secara matematis.

The student loan idea is a slippery slope; prove me wrong!

Pembuka

Wacana student loan di Indonesia menjadi perbincangan yang masif oleh masyarakat saat ITB yang bekerja sama dengan Danacita, perusahaan fintech lending, sengaja memberikan tautan pinjaman online di laman pembayaran biaya kuliah mahasiswa yang sedang kesulitan finansial. Saya pernah membahasnya di tulisan pertama saya, Dijebak Pinjol di Kampus Negeri.

Saya mencoba menelusuri Google Search News dengan modifikasi penelusuran menggunakan fitur custom date. Kita bisa menemukan sumber pertama wacana kebijakan ini adalah dari Presiden Jokowi yang menyampaikannya kepada para eksekutif bank nasional di Istana Negara pada tanggal 15 Maret 2018. Kompas TV dan laman berita Kompas memberitakan, “Saya ingin memberi PR (pekerjaan rumah) kepada Bapak Ibu sekalian. Dengan yang namanya student loan atau kredit pendidikan.”   

Saya penasaran siapa yang membuat pidato tersebut. Apakah wacana tersebut top down? Berarti Jokowi meminta isi pidato yang spesifik menyebut student loan sebagai salah satu inovasi produk perbankan yang dibutuhkan negeri ini. Ataukah bottom up? Penulis pidato yang tentu sudah dapat approval dari eselon I dan menteri memasukkannya sebagai bagian wacana nasional. Anyway.   
 
Wacana ini kemudian mendapatkan tanggapan dari Bank Indonesia dan BRI turut merespon dengan informasi penawaran produk kredit pendidikan untuk mahasiswa master (S2) dan doktoral (S3).

Di tahun 2024 ini dua pejabat publik memberikan restunya terhadap wacana ini. Pertama, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, “Kita juga waspada di negara maju seperti Amerika itu sudah dilakukan dan menimbulkan masalah jangka panjang. LPDP nanti akan merumuskan bagaimana keterjangkauan pinjaman itu sehingga tidak memberatkan student tapi tetap mencegah terjadinya moral hazard dan tetep memberikan afirmasi terutama pada kelompok tidak mampu.” 
 
Kedua, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyampaikan, “Skema yang student friendly, yang memahami kalau sekarang mungkin belum bisa bayar, bayarnya nanti kalau anak ini sudah kerja. Jadi saya sedang mengajak yuk bareng-bareng bikin student loan, seperti di luar negeri banyak………yang diperlukan sekarang S1.”  Saya sengaja berikan tanda bold di pernyataan tersebut karena di sinilah fokus isu ini yakni pembiayaan dengan menggunakan pinjaman berbunga untuk jenjang sarjana dan sederajat.

Isu ini semakin intens dibahas publik (setidaknya di linimasa saya) dengan momentum Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang mengeluarkan Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Setelah peraturan ini terbit, sejumlah universitas negeri menetapkan kebijakan dan peraturan baru yang memperbarui nominal dan klasifikasi kelompok biaya kuliah yang dibebankan kepada para mahasiswanya dengan kecenderungan yang naik secara signifikan. Di titik ini, wacana student loan menemukan momentumnya dengan kenaikan biaya kuliah program sarjana dan vokasi.

Sekilas saja. Saya berikan screenshot penggalan Permendikbud tersebut yang bisa disalahterjemahkan menjadi kebijakan yang fatal yakni Pasal 6 ayat 1-4. Perguruan tinggi dalam peraturannya wajib mengadopsi Kelompok Tarif UKT Kelompok I dan II yang masing-masing hanya setengah dan satu juta rupiah. Namun, berapa kelompok tarif, nominal dan rentang kelompok UKT lain adalah lubang biawak dalam peraturan ini.

Hal ini dibuktikan oleh Universitas Indonesia yang mengadopsi peraturan tersebut ke dalam Peraturan Rektor Universitas Indonesia Nomor 792/SK/R/UI/2024. Kita juga bisa menemukan versi UI/UX friendly-nya di laman Sistem Informasi UKT UI. Lihat jarak nominal UKT Kelompok 2 dengan 3-5. Lompatan tarif macam apakah itu? Apakah UI melanggar aturan? Tidak, karena UI sudah mengadopsi Pemendikbud 2 Tahun 2024 di atas.

Di sisi lain, saya juga bisa menyampaikan bahwa para umbi (analis) dan esmelon (eselon) di sejumlah kementerian dan lembaga negara memang sedang (telah) merebus wacana ini menjadi kebijakan publik. Mohon info A1 ini dirahasiakan!

Sekarang kita sudah selesai dengan penelusuran histori wacana yang memberikan pemahaman bagaimana ide student loan ini bermula dan relevansinya dengan kenaikan biaya kuliah di kampus-kampus nasional belakangan ini. Selanjutnya, mari kita membahas substansi. 

Gagasan Student Loan adalah Slippery Slope

Wacana kebijakan student loan di Indonesia adalah slippery slope. Sekali kebijakan ini disahkan menjadi produk hukum yang akan melindungi legalitas produk finansial di pasar, maka sesungguhnya kita harus bersiap dengan sederet masalah baru yang bisa ditimbulkannya. Kita harus melawan gagasan ini setidaknya karena tiga hal: 

1. Student loan terbukti memicu student debt crisis di Amerika Serikat.
2. Student loan terbukti berdampak negatif pada well-being atau mental health para mahasiswa. 
3. Student loan berpotensi menjadi moral hazard bagi pemerintah dan pengelola universitas negeri.  
 
Student loan terbukti memicu student debt crisis di Amerika Serikat

Saat membahas student loan maka top of mind saya adalah Amerika Serikat (AS). Student loan di AS adalah kebijakan yang telah membawa masyarakatnya memiliki total hutang $1.600.000.000.000 menurut Student Loan Debt Statistics untuk membiayai pendidikan tinggi mereka. Nominal tersebut setara Rp 25.572.640.000.000.000. Singkatnya 25.572 triliun rupiah menurut kurs saat tulisan ini dirilis.

Lebih jauh lagi, Carlson (2020) di publikasinya The U.S. Student Loan Debt Crisis: State Crime or State-Produced Harm? menyebutkan bahwa student loan yang mulanya dijanjikan dan didesain sebagai akserasi mobilitas sosial dengan peningkatan enrollment pendidikan tinggi untuk masyarakat AS setelah perang dunia kedua justru melahirkan kerugian-kerugian lintas generasi. Sejumlah kerugian lintas generasi yang muncul selama beberapa dekade terakhir ini juga didukung oleh sejumlah penelitian lain yang dampaknya terjadi di level individu, masyarakat maupun negara.

Di level individu, mereka yang mengambil student loan memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk membuka bisnis (American Student Assistance, 2015) dan mengambil kredit rumah pertama (Federal Reserve, 2019). Konsekuensi logis kan? Kita harus melunasi sebagian besar atau seluruh hutang pendidikan mereka terlebih dahulu baru bisa menambah hutang-hutang baru.

Bayangkan ini terjadi di Indonesia! Gaji rata-rata freshgraduate yang hanya sekian kali UMR/UMK itu berhadapan dengan cicilan hutang kuliah lalu ketemu harga rumah yang nggak ngotak. Belum lagi membahas, “Kapan nikahin aku Mas?” Nggak mungkin pula berpikir realisasi ide bisnis yang lebih berisiko dibanding jadi pegawai, misalnya.

Di level masyarakat dan negara, student debt berdampak negatif kepada konsumsi masyarakat pada bisnis kecil dan menengah (Federal Reserve Bank of Philadelphia, 2015), mengurangi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan risiko finansial (Federal Reserve, 2018) serta pengurangan potensi aset yang dimiliki saat usia pensiun (Rutledge et.al, 2015).

Di section ini, saya mengundang para ekonom untuk turut membahasnya lebih detail.

Student loan terbukti berdampak negatif pada well-being atau mental health para mahasiswa. 

Ini adalah isu yang menarik bagi milennials dan terutama Gen-Z saat ini yakni isu kesehatan mental dan well-being. Di section ini, saya mengundang para psikolog dan akademisi di bidang ini untuk membahasnya lebih detail.

Namun sekilas saja, saya tidak berhasil menemukan evidence bahwa student loan memiliki pengaruh positif terhadap kesejahteraan, kesehatan mental dan performa akademik para mahasiswa di Amerika Serikat, Inggris dan sejumlah negara maju lain. Para akademisi di bidang ini, sepertinya, sepakat bahwa student debt terbukti berdampak negatif pada well-being, mental health dan academic performance para mahasiswa (Ross et al., 2004; Cooke et al., 2006; Walsemann et al., 2015; Kim and Chatterjee, 2018; Richardson et al., 2017; Pisaniello et al., 2019) terutama pada kelompok masyarakat kelas bawah dan menengah (Despard et al., 2016).

Student loan berpotensi menjadi moral hazard bagi pemerintah dan pengelola universitas negeri.

Di tahun 2010, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan dengan menyatakan bahwa UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kala itu, Mahfud MD yang menjabat sebagai Ketua MK menyatakan, “Undang-undang itu bertendensi mengalihkan tanggung jawab negara kepada masyarakat untuk memikul beban pendidikan.

Di tahun 2012, pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan Undang-undang Pendidikan Tinggi. Para aktivis dan masyarakat sipil peduli pendidikan tinggi yang masih merasakan semangat liberalisasi pendidikan dan mengkhawatirkan pelepasan tanggung jawab negara di RUU tersebut, menolak pengesahannya. Salah satu pasal problematik adalah munculnya frase “pinjaman dana tanpa bunga” pada salah satu pasalnya yang akan saya jelaskan di bawah. Fast forward ke 2024 sekarang, frase tersebut menjadi wacana student loan yang kita bahas saat ini.

Rapat Pengesahan UU Pendidikan Tinggi oleh Komisi X DPR RI bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Jum’at, 13 Juli 2012. Dokumentasi pribadi.

Dua argumen di atas sebelumnya, yakni student-debt crisis dan student well-being, kita temukan sederet evidence-based-nya. Untuk kali ini saya memilih menggunakan cara berpikir scenario planning. Scenario planning adalah metode dan teknik dalam manajemen strategi untuk merencanakan atau mengantisipasi apa yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Berdasarkan apa yang sudah terjadi di tahun 2010 dan 2012, belasan tahun kemudian wacana student loan memiliki indikasi akan direalisasikan. Oleh karena itu, saat ini kita memiliki alasan yang sangat kuat untuk membuat scenario planning bahwa jika student loan ini direalisasikan maka sangat mungkin berdampak atau menimbulkan moral hazard kepada kebijakan para pengelola universitas dan negara ini.

Logikanya adalah student loan adalah solusi berbasis pasar atau swasta saat terjadi ketimpangan kemampuan bayar mahasiswa dengan biaya kuliah yang dibebankan oleh universitas. Negara dalam ini pemerintah sebagai pengelolanya bisa menjustifikasi pengurangan bantuan operasional, subsidi dan dukungan pendanaan pendidikan tinggi dengan “swasta sudah turut hadir dalam bantuan pembiayaan mahasiswa.”

Kedua, para petinggi kampus bisa mengelak dari tanggung jawab penyediaan bantuan pengurangan biaya kuliah bagi kelompok rentan. Kenapa? Karena ditanggung oleh perusahaan pembiayaan. Lebih buruk lagi, pengelola kampus menetapkan mahasiswa tertentu ke golongan UKT kelompok atas karena ada pinjaman online seperti Danacita di ITB dan kampus-kampus lain. Masuk akal?

I smell money...
The Big Short (2015)

Kedua hal di atas adalah reaksi berantai dan merupakan potensi moral hazard yang mungkin terjadi yakni entitas individu atau organisasi sengaja mengambil tindakan tertentu yang lebih menguntungkan karena mereka tidak mendapatkan konsekuensi buruk dari pengambilan keputusannya.

Kalau Zero Percent Student Loan, Apakah Mungkin?

Jika ada ide lanjutan, kalau bunga nol persen, mungkin nggak? Hal itu sesungguhnya diperintahkan oleh Undang-undang Pendidikan Tinggi dalam Pargraf 2 tentang Pemenuhan Hak Mahasiswa pasal 76 ayat 2(c) yang berbunyi, “pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.”

Namun simulasi oleh Elmira dan Suryadarma (2018) dalam rilis The SMERU Research Institute yang berjudul “Financing Higher Education in Indonesia: Assessing the Feasibility of an Income-Contingent Loan System” menyimpulkan interest rate yang feasible bagi semua pihak yakni pemerintah, swasta dan individu adalah di angka 10%. Di sisi lain, tingkat bunga terendah di Indonesia saat ini adalah Kredit Usaha Rakyat Mikro sebesar 6% per tahun dengan subsidi bunganya kepada perbankan nasional dari APBN sebesar Rp 47,8 triliun rupiah di tahun 2024.

Jika pemerintah hendak implementasi kebijakan ini dengan subsidi bunga untuk student loan, menurut saya nggak perlu ribet. Daripada jadi subsidi bunga, tambahkan saja alokasi anggaran untuk pendidikan tinggi. Sejatinya, semua wacana student loan dari para pejabat di atas, sengaja melawan amanat undang-undang.
 
Penutup 
 
Terakhir, bagi pembaca tulisan ini yang percaya kepada Hari Akhir sebagai bagian dari keimanan, student loan ini riba. Islam memberikan akad Qardul Hasan untuk hal seperti ini yakni pinjaman harta untuk kebaikan tanpa imbalan. Saya pernah mendapatkan tawaran dengan akad seperti itu. Sayangnya saya bukan ahli ekonomi atau keuangan syariah. Saya berharap ada kolega yang bisa membahas ini. Namun, solusi tersebut bukanlah solusi struktural dan komprehensif yang menjawab akar masalah kenaikan biaya pendidikan tinggi di negeri ini. Saya pernah merekomendasikan solusinya secara singkat di bagian akhir tulisan pertama saya tentang student loan
 
Wacana student loan ini adalah red line bagi saya. Saya dengan senang hati bersedia berantem gagasan dengan para pengusung dan pendukung ide ini jika mereka kukuh membahas dan menyiapkan implementasinya. Ini adalah peringatan kedua setelah tulisan pertama saya. Para pengambil kebijakan tidak bisa berpaling dari sederet evidence-based di atas.

Saya berharap para pembaca dan masyarakat memiliki sikap yang sama dengan saya.  
 

22 Mei 2024
Thanthowy Syamsuddin 
Kepala Departemen Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa BEM FEUI 2011 
Ketua BEM FEUI 2012 
Kepala Departemen Kajian Strategis BEM UI 2013 
Dosen Universitas Airlangga (2018-nggak tau sampe kapan

Disclaimer:
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Rasionalitas Terbatas dalam Pemilihan Umum

Anda mungkin familiar dengan nama Faldo Maldini. Mantan ketua BEM UI yang saat ini menjadi politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Saat Faldo maju dalam pemilihan raya Ketua BEM UI, salah satu teman saya memilihnya simply karena nama Maldini adalah rekan setim Ricardo Kakà saat di AC Milan. Kakà adalah pemain favoritnya dan tentu saja AC Milan adalah tim yang ia dukung. Alasan teman saya memilih Faldo bukan karena leadership traits, visi-misi, program ataupun kombinasi dari itu semua. Sesederhana asosiasi nama Maldini dan klub favorit. Suaranya sah dan tidak ada yang bisa menyalahkan dia karena alasan tersebut.

Saya pun demikian. Saya pernah didukung dan dipilih salah satu teman dengan alasan “Gw kasihan sama lo, Tow!”. Saya juga pernah memilih seorang kandidat karena dia adalah teman main saya. Tidak ada keputusan yang rumit menggunakan metode-metode pengambilan keputusan yang rigid.

Pada pemilihan umum 2024 kali ini, Indonesia memilih di antara tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Apalagi pada pemilihan legislatif, kita harus memilih tiga kandidat di antara ratusan opsi. Ketika saya berkeliling dan ngobrol dengan banyak orang di sekitar saya, alasan-alasan sederhana yang tidak njlimet mengemuka.

Foto Kandidat Calon Presiden-Wakil Presiden. Sumber: KPU.

Seorang penjual bakso memilih Prabowo karena jogetnya. Serius, penjual tersebut benar-benar mengutarakannya sambil joget. Pedagang lain memilih Prabowo karena baginya presiden harus berasal dari militer. Ada yang memilih Ganjar-Mahfud karena Mahfud dianggap murid Gus Dur saat Gus Dur menjabat presiden. Ada yang memilih Anies karena tidak mau memilih Gibran yang songong dan memilih kandidat dari PDIP adalah sebuah kemustahilan baginya.

Sains mengenal fenomena-fenomena ini sebagai “bounded rationality” atau rasionalitas terbatas (Simon, 1955). Rasionalitas terbatas adalah pengambilan keputusan yang didasarkan oleh kriteria tertentu, bisa satu atau beberapa kriteria, yang memuaskan dirinya namun bukan untuk mencari keputusan yang optimal atau terbaik. Hal ini bisa terjadi baik di level individu maupun organisasi. Teori ini adalah perkembangan dari pemikiran Adam Smith “the theory rational choice” yang berarti saat seorang individu atau organisasi rasional, maka mereka akan berperilaku untuk memaksimalkan tujuan atau manfaat bagi kepentingan mereka. Sederhananya, rasionalitas terbatas menjelaskan bahwa kita memiliki keterbatasan kognitif dalam mencari, memproses, memverifikasi dan memilih informasi yang relevan untuk pengambilan keputusan.

Rasionalitas terbatas ini juga mungkin bisa menjelaskan dengan sangat baik mengapa, sampai tulisan ini dirilis, Prabowo-Gibran unggul dan kemungkinan besar akan menjadi presiden dan wakil presiden republik ini.

Gemoy adalah branding atau citra tunggal yang dominan disajikan di  seluruh saluran kampanye mereka baik online maupun offline. Ditambah dengan joget dan musik latar jedag jedug yang mudah diingat, “Oke, gas, oke, gas, nomor dua torang gas” menempel dengan sangat baik di benak masyarakat hingga hari H pemilihan. Jika harus menyebut satu kata, apa citra tunggal yang dibangun dua pasangan lain secara konsisten? Gemoy dengan joget dan musiknya mengalahkan citra apapun yang mereka bangun.

Pada pesan kampanye, Prabowo-Gibran memiliki pesan tunggal yang terus diulang di debat terbuka, kampanye maupun rilis media yakni makan siang gratis. Pada debat presiden terakhir kita juga bisa menangkap pesan ini secara konsisten. Apapun pertanyaannya, jawaban mengarah ke “makan siang gratis.” Jika harus menyebut satu kata, apa janji kampanye atau pesan yang dijanjikan dua pasangan lain secara konsisten? Kita bisa jadi tidak mengingat pesan tunggal tersebut atau siapapun yang ditanya bisa memiliki jawaban yang berbeda untuk menyebut satu janji kampanye Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Pada keberlanjutan pemerintahan, pesan bahwa Prabowo adalah sosok tunggal yang layak melanjutkan pemerintahan Jokowi masif disampaikan oleh pejabat publik, tim kampanye dan para pendukungnya. Hal ini dikuatkan dengan bantuan sosial (bansos) di masa kampanye oleh Jokowi dengan citra personalnya. Jokowi memberikan bansos targeted berdasarkan data penerima bansos maupun random dalam kunjungan di daerah. Jokowi presiden yang baik karena memberikan bansos. Prabowo sebagai penerus akan melanjutkan kebaikan Jokowi. Sekarang, kandidat mana yang bisa mengalahkan citra kebaikan ini?

Saya menduga, Prabowo-Gibran (baca: konsultan mereka) memahami dengan sangat baik konsep rasionalitas terbatas ini lalu memetakan dan menarget kelompok-kelompok masyarakat yang jumlahnya dominan untuk memenangkan pemilihan umum. Jumlah yang dominan dari segi kelompok umur, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi dan perilaku konsumsi media. Data-data kelompok umur, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, dan perilaku konsumsi media bisa di-cross check dengan hasil riset para konsultan politik yang dirilis sebelum kampanye. Bahkan, bisa menjadi topik penelitian tersendiri setelah rilis resmi hasil perhitungan pemilihan umum oleh KPU.

Saya mengeluarkan semua dugaan dan tuduhan kecurangan baik yang faktual maupun yang harus diinvestigasi dalam tulisan ini. Saya tidak menyebut hal-hal tersebut tidak ada atau tidak mempengaruhi keputusan memilih masyarakat. Saya belajar bahwa citra dan pesan sederhana yang diulang secara kontinyu dan masif bisa memenangkan kampanye politik kandidat karena kita sebagai manusia memiliki rasionalitas terbatas dalam pengambilan keputusan.

15 Februari 2024.