Tulisan ini berangkat dari ide awal yang saya sampaikan melalui tweet ini. Dalam tulisan ini, saya menguraikan secara naratif analisis mengapa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) berpotensi menjadi mimpi buruk logistik dan bencana kebijakan nasional, serta mengapa pembatalan total menjadi langkah paling rasional. Adapun ide-ide lebih rinci namun ringkas, tersedia di thread tersebut.
Seiring waktu, satu per satu bukti kegagalan strategis dan operasional bermunculan, memperkuat keyakinan bahwa masalah MBG bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan cacat sejak tahap perencanaan dan desain program.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan dengan janji memperbaiki gizi anak, ibu hamil dan pelajar serta mempercepat peningkatan kualitas sumber daya manusia nasional. Namun, dari kacamata strategi operasi dan pengelolaan rantai pasok, sejak awal program ini memikul beban kesalahan desain yang berat. Hari ini, dengan merebaknya kasus keracunan di berbagai daerah, kegagalan itu nyata di hadapan kita. MBG bukanlah program yang bisa diselamatkan dengan perbaikan kecil. Ia harus dibatalkan secara keseluruhan.
Dalam setiap rancangan produk hingga layanan publik berskala nasional, terdapat prinsip dasar yang tak bisa diabaikan: keseimbangan antara biaya, mutu, dan jangkauan. MBG memutuskan untuk menekan biaya seminimal mungkin sambil memaksakan jangkauan nasional masif. Akibatnya, mutu harus dikorbankan. Dengan biaya hanya sekitar Rp10.000 per anak per hari, mustahil memastikan makanan bergizi dan aman tersebar ke seluruh pelosok negeri. Ini adalah kesalahan kalkulasi strategi operasional yang sangat mendasar.
Masalah MBG bukan sekadar kesalahan distribusi di lapangan. Ia mencerminkan kegagalan sistemik dalam perencanaan, mulai dari pemilihan sumber daya, proses produksi, hingga mekanisme pengantaran ke sekolah-sekolah. Dalam rantai pasok pangan, pengendalian mutu yang integral sejak tahap perencanaan, pengadaan bahan, pembuatan, hingga distribusi adalah keharusan mutlak. Program ini mengabaikan prinsip tersebut. Tanpa jaringan penyimpanan dingin yang memadai, tanpa sistem audit mutu independen, tanpa kesiapan infrastruktur sekolah, hasil akhirnya adalah makanan yang tidak layak konsumsi, membahayakan kesehatan anak-anak kita.
Pernyataan resmi yang menyebut tingkat keracunan “hanya” 0,5 persen memperlihatkan pemahaman yang keliru tentang pengelolaan risiko publik. Untuk layanan dan produk yang berpotensi membahayakan pengguna saat gagal, contoh produk makanan, angka keracunan harus nol. Satu anak yang sakit karena program pemerintah adalah satu kegagalan yang tidak bisa dibenarkan, apalagi dianggap sepele. Di sinilah letak persoalan utamanya: negara telah gagal mengutamakan keselamatan rakyat kecil dalam setiap tahapan pelaksanaan. Bayangkan ini terjadi di sektor swasta, produk atau produsen tersebut bisa diboikot.
Krisis ini diperparah oleh minimnya akuntabilitas dan transparansi program. Pengelolaan yang lebih banyak diserahkan ke instansi non-sipil tanpa kompetensi teknis yang memadai di bidang logistik dan kesehatan pangan, diiringi proses pengadaan yang tidak terbuka dan minim pengawasan publik, membuka ruang besar untuk inefisiensi, kesalahan, bahkan potensi penyimpangan. Alih-alih menjadi investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa, MBG justru berisiko menjadi proyek pemborosan sumber daya nasional.
Dari segi skala, program ini juga mencemaskan. Target pemberian makan kepada lebih dari 40 juta pelajar dan 82 juta penerima manfaat dengan anggaran sekitar Rp300 triliun per tahun adalah ambisi yang tidak sebanding dengan kapasitas infrastruktur pelayanan publik kita hari ini. Tanpa kesiapan bertahap, tanpa pilot project berbasis bukti dan uji publik, MBG lebih menyerupai eksperimen sosial berskala raksasa dengan anak-anak Indonesia sebagai taruhannya.
Oleh karena itu, solusi terbaik bukanlah memperbaiki MBG, melainkan membatalkannya secara keseluruhan. Dana negara tidak boleh dihamburkan untuk program yang cacat secara perencanaan, cacat secara operasional, dan cacat secara akuntabilitas. Kita perlu mengembalikan fokus pembangunan kepada pencegahan stunting yang berbasis bukti dan efektivitas nyata.
Pencegahan stunting selama 1.000 hari pertama kehidupan — sejak masa kehamilan hingga usia dua tahun — terbukti menjadi intervensi paling kritis untuk memperbaiki kualitas generasi mendatang. Fokuskan anggaran untuk memperkuat Posyandu, meningkatkan kapasitas bidan desa dan penyuluh kesehatan, memperluas akses nutrisi bagi ibu hamil dan balita. Perbaiki sistem pelayanan dasar, berikan dukungan operasional langsung, dan hindari pengeluaran-pengeluaran tidak produktif seperti perjalanan dinas dan pelatihan seremonial.
Setiap kegagalan operasional MBG bukan sekadar angka statistik. Ia adalah penderitaan nyata di ruang-ruang kelas, di keluarga-keluarga kecil yang berharap pada janji negara. Setiap insiden keracunan, setiap makanan basi yang dikonsumsi, adalah tamparan bagi semangat keadilan sosial yang seharusnya menjadi jiwa setiap kebijakan publik.
Membatalkan MBG bukanlah kegagalan. Membatalkan MBG adalah keberanian untuk mengakui kekeliruan, dan untuk memperbaiki arah pembangunan bangsa dengan bertumpu pada akal sehat, tanggung jawab, dan keberpihakan sejati pada masa depan anak-anak Indonesia. Saatnya negara bertindak. Batalkan program ini, sebelum bencana yang lebih besar datang menyusul.