Genocide and The Future of Sustainability

A ceasefire has been agreed between Hamas and the Zionist entity, brokered by the US.

Palestinians in Gaza return to their homes.

But still, the Zionist entity controls most of the Palestinian lands with no guarantee that they will stop the displacement, including the ongoing military violence in the West Bank.  

A Lancet study reported that by mid-2024, over 64,000 people—primarily women, children, and the elderly—had died from traumatic injuries in Gaza, with projections surpassing 70,000 by October. The recent report by Anadalo Agency in October 2025 said that over 17,000 students, 10,000 women, 20,000 children, 540 aid workers, and 254 journalists were reported killed. It has also been more than 77 years since the Nakba—the violent displacement and dispossession of 700,000 Palestinians from their land.

Satellite images of the Gaza Strip on September 14, 2023, and October 12. Photos: Courtesy of SDG Center. Source: Global Times.

Those are not isolated tragedies; they represent an ongoing, systematic reality of genocide. International Association of Genocide Scholars, the UN Independent International Commission of Inquiry on the Occupied Palestinian Territory, Amnesty International, and other international bodies acknowledge that act.

In that case, we need to understand that many corporations are also directly, indirectly, or knowingly complicit in the genocide.

The War Economy Behind Sustainability Report

In June 2025, the Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in the Palestinian territories occupied since 1967 was published by the United Nations Human Rights Council, titled “FROM ECONOMY OF OCCUPATION TO ECONOMY OF GENOCIDE.”

The UN Special Rapporteur’s report reveals how corporate entities, across sectors and structures, are complicit in sustaining the Zionist entity occupation and apartheid economy.

Their investigation mapped over 1,000 corporate entities potentially complicit in international crimes in occupied Palestine, spanning industries such as arms, surveillance, construction, logistics, and finance. Of these, over 45 companies were directly named for enabling and profiting from the occupation; only 15 responded to allegations. The report highlights how complex corporate structures, including parent firms, subsidiaries, franchises, and joint ventures, obscure accountability while sustaining a war economy that violates human rights and the sustainability of nature and human beings.

UN report highlights role of corporate actors in Israel’s occupation and unfolding genocide. Source: https://www.business-humanrights.org/

Ironically, some of them publicly champion sustainability and publish the ESG Report. That hypocrisy calls for a litmus test, not just for governments and institutions, but for corporations and, ultimately, for each of us as human beings.

Corporate Complicity in Genocide: The ESG Paradox

Palantir Technologies supplies AI targeting systems to the Israeli military and maintains a strategic partnership with its Ministry of Defense, while boasting of its ESG commitments. Maersk, a global logistics giant, has been found transporting weapons components to Israel, despite publishing human rights pledges in its ESG disclosures while denying the allegation. Google and Amazon, through Project Nimbus, provide AI and cloud services used for surveillance and military operations in Gaza. Microsoft delivers Azure infrastructure powering targeting systems responsible for thousands of civilian deaths.

“UN report lists companies complicit in Israel’s ‘genocide’: Who are they?”Source: https://www.aljazeera.com/news/2025/7/1/un-report-lists-companies-complicit-in-israels-genocide-who-are-they

These companies all release polished ESG reports, claim environmental leadership, and position themselves as ethical actors. But they fail the most fundamental test: Are you supplying the machinery of genocide? If the answer is yes, no sustainability claim can stand.

Their actions violate the Triple Bottom Line by harming people and planet, betray Stakeholder Theory by ignoring Palestinian lives, and expose a lack of supply chain traceability where ethics are conveniently omitted. This is the litmus test that cuts through public relations gloss and demands moral clarity.

Even Scholars Are Failing the Test

This litmus test applies to everyone, even scholars and climate advocates. I once engaged a professor of sustainability online on Twitter/X. He argued:

“It is very unwise if the climate movement aligns with Palestine. Climate and the Israel-Palestine issue are fundamentally different. I will publicly distance myself from them.”

I responded,

“Professor, really? War and colonialism in Palestine are environmental issues. Bombing Gaza, destroying farmland, poisoning water, these are not separate from climate justice. They are central to it. You should be ashamed, both as a scholar and a human being.”

Imperialism as the Common Root

What ties these actors together is a shared logic: dispossess for power, profit from destruction. The Zionist project continues to seize land for political and economic ends. Corporations reap wealth by supporting the machinery of war. This is not an anomaly. It is the very definition of colonialism in the 21st century, disguised under the banner of “innovation” and “green growth.”

So, Let’s Be Clear

Therefore,  if your sustainability platform is complicit in genocide, it is not sustainable.

If your ESG report ignores environmental destruction from the genocide, it is not ethical. If your climate advocacy excludes Palestine, it is not justice.

This Is A Call

To my fellow scholars in sustainability: We must decolonize our frameworks and reclaim moral clarity. To ESG professionals: Trace your supply chains, not just for carbon footprint, but for blood.

To all: Demand accountability from the genocide supply chain and continue the boycott whenever possible of those who are complicit.

Free Palestine! Free the world from imperialism and colonialism!

Kuliah Gratis, Mengapa Tidak Mungkin?

Tulisan ini ditulis sebagai respon atas tulisan Prof. Mohammad Nasih dengan judul “Kuliah Gratis, Mengapa Tidak?” yang dirilis oleh Kompas pada tanggal 12 September 2024. Saat membacanya di pagi hari, saya meresponnya dengan tulisan berikut yang juga saya kirim ke Redaksi Opini Kompas pada tanggal yang sama.

Namun, Kompas tidak mempublikasikannya.

Pengarsipan melalui blog ini terlambat dilakukan namun lebih baik dirilis daripada tidak sama sekali. Dan, terima kasih telah membaca.


Kuliah Gratis, Mengapa Tidak Mungkin?

Tulisan “Kuliah Gratis, Mengapa Tidak?” oleh Mohammad Nasih memuat sejumlah kelemahan argumen atau fallacies yang penting untuk dicermati, terutama di bagian akhir yang sangat disayangkan tidak menunjukkan kondisi terkini politik anggaran pendidikan nasional dengan baik. 


Kelemahan Argumen

Di bagian awal tulisan, argumen kesan kuliah mahal meskipun ada bantuan beasiswa dari pemerintah melalui skema Kartu Indonesia Pintar (KIP)-Kuliah sebagai pembuka gagasan, tidak memiliki data-data pendukung yang bisa dirujuk. Faktanya, memang biaya kuliah yang harus dibayarkan oleh rumah tangga nasional semakin mahal sebagaimana dirilis dalam Berita Resmi Statistik Perkembangan Indeks Harga Konsumen Agustus 2024 dari Badan Pusat Statistik (BPS).  

Dalam laporan tersebut, tingkat inflasi pada kelompok pengeluaran pendidikan secara month-to-month (M-to-M) mencapai 0,65%, sementara inflasi year-on-year (Y-on-Y) Agustus 2024 tercatat sebesar 1,83%. Lebih khusus lagi, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS dalam konferensi persnya merinci bahwa tren inflasi pada sektor pendidikan tinggi adalah sebesar 0,46%, lebih tinggi daripada inflasi pada sektor sekolah menengah atas yang berada di angka 0,36%. Ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan tinggi memang terus mengalami peningkatan yang signifikan, yang tentu menjadi beban bagi rumah tangga, terutama rumah tangga dengan pendapatan menengah ke bawah.

Kesalahan kedua adalah generalisasi berlebihan (hasty generalization) dan bias kelas terkait fenomena masyarakat yang mengaku miskin ketika harus membayar biaya pendidikan. Tulisan tersebut seakan-akan menyiratkan bahwa sebagian masyarakat yang mengeluhkan biaya pendidikan sebenarnya tidak sepenuhnya miskin. Ini adalah pernyataan yang sangat bias dan mengabaikan realitas bahwa banyak rumah tangga miskin memang menghadapi kesulitan dalam mengalokasikan pengeluaran untuk pendidikan.

Berdasarkan Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2023 yang dirilis oleh BPS, Garis Kemiskinan per kapita berada di angka Rp550.458,- per bulan. Dari total pengeluaran rumah tangga miskin, sekitar 74,21% digunakan untuk kebutuhan pokok seperti makanan, sementara hanya sekitar 25,79% yang tersisa untuk pengeluaran non-makanan, termasuk pendidikan. Angka ini menunjukkan betapa terbatasnya kemampuan rumah tangga miskin untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka tanpa bantuan dari pemerintah.

Dengan demikian, tulisan tersebut tidak hanya mengabaikan kenyataan ekonomi yang dihadapi rumah tangga miskin, tetapi juga menunjukkan ketidakpahaman tentang bagaimana struktur pengeluaran rumah tangga miskin di Indonesia. Hal ini jelas merupakan kelemahan mendasar dalam membangun argumen kuliah gratis yang disampaikan.

Realitas Anggaran RAPBN 2025 

Tulisan tersebut merekomendasikan lima langkah strategis untuk mewujudkan pendidikan tinggi gratis, yaitu adanya kemauan politik (political will) dari pemerintah, peningkatan alokasi anggaran pendidikan, efisiensi program, peran dana abadi pendidikan, serta partisipasi pemerintah daerah. Usulan ini terdengar masuk akal. Namun, jika kita melihat realitas politik anggaran nasional saat ini, langkah-langkah ini sulit untuk diimplementasikan dalam waktu dekat. 

Sebagai gambaran, komitmen dan prioritas kebijakan pemeritah tercermin dalam politik anggaran nasional dengan APBN sebagai produk hukumnya. Pada masa transisi pemerintahan periode Jokowi ke Prabowo saat ini, RAPBN 2025 sedang digodok di Badan Anggaran DPR yang ditargetkan akan disahkan di minggu ketiga bulan September 2024. Namun, postur sementara sudah terlihat dari RAPBN 2025 dan Nota Keuangan yang disampaikan Presiden Jokowi, 16 Agustus lalu.

Kenyataannya, RAPBN dan Nota Keuangan 2025 yang sudah mengakomodir kebijakan dan program-program strategis pemerintahan baru, tidak menjadikan pendidikan sebagai prioritas pertama sehingga gagasan kuliah gratis secara khusus hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia secara umum patut dipertanyakan. 

RAPBN 2025 merencanakan anggaran belanja sebesar 3.613 triliun dan mandatory spending pendidikan yang diamanatkan konstitusi sebesar 20% berarti senilai Rp 722 triliun. Angka mandatory spending sebesar itu dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat, Transfer ke Daerah (TKD) dan pembiayaan. Namun dari angka 722 triliun tersebut justru dilahap sebagian untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBZ) sebesar Rp 71 triliun atau hampir 10%-nya. Hal ini terungkap pada Rapat Kerja Komisi X DPR RI dengan Kemdikbudristek RI pada 6 September lalu. 

Lebih jauh lagi, prioritas anggaran kementerian dan lembaga (K/L) di tahun 2025, masih menempatkan Kementerian Pertahanan dan Kepolisian sebagai dua K/L dengan anggaran tertinggi masing-masing 165 triliun dan 126 triliun. Bandingkan dengan Kemdikbudristek dengan total anggaran 83 triliun yang dialokasikan kepada pendidikan tinggi sebesar 34 triliun, vokasi sebesar 3,7 triliun dan program pendidikan tinggi yang dikelola Kemenag sebesar 8,2 triliun. Bahkan, pagu anggaran Kemdikbudristek di RAPBN 2025 berkurang 10% jika dibandingkan dengan outlook APBN 2024 yang sebesar 92 triliun. 

Postur anggaran tersebut adalah bukti bahwa pendidikan memang belum menjadi prioritas tertinggi. Sehingga, political will dan peningkatan anggaran pendidikan sebagai dua langkah strategis pertama dalam gagasan kuliah gratis langsung terbantahkan sendiri dengan postur RAPBN 2025. 

Penutup

Dengan kondisi anggaran yang demikian, gagasan pendidikan tinggi gratis sulit terwujud dengan cakupan yang lebih luas dan penerima beasiswa yang lebih banyak. Anggaran pendidikan yang besar pun tidak sepenuhnya dialokasikan untuk sektor pendidikan, dan pagu anggaran pendidikan tinggi justru mengalami penurunan. Tanpa adanya kemauan politik yang kuat dan alokasi anggaran yang lebih adil, cita-cita pendidikan tinggi gratis akan tetap menjadi wacana yang sulit terealisasi.

Jika gagasan kuliah gratis ini dieksekusi pemerintahan mendatang maka sejumlah langkah strategis bisa dilakukan. Pertama, dalam jangka pendek, memprioritaskan anggaran pendidikan sebagai prioritas pertama baik berdasarkan alokasi fungsi anggaran dan alokasi K/L. Sektor-sektor yang memakan porsi besar seperti pertahanan dan kepolisian bisa dialokasikan sebagian untuk anggaran pendidikan. Kedua, rekomendasi peningkatan alokasi dan optimalisasi Dana Abadi Pendidikan, khususnya Dana Abadi Perguruan Tinggi memang sangat mungkin dilakukan baik dalam jangka pendek maupun panjang. Terakhir, penguatan kolaborasi publik dan swasta dalam pembiayaan pendidikan tinggi dengan insentif fiskal tertentu bagi perusahaan-perusahaan maupun yayasan yang aktif berkontribusi membangun bidang pendidikan. 


Lalu, pada tanggal 22 Januari 2025, Presiden Prabowo menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 (Inpres 1/2025). Instruksi ini berisi tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan baik di tingkat nasional (APBN) maupun daerah (APBD).

Saya menjawab kebijakan tersebut dengan tulisan INPRES No. 1 Tahun 2025: Penggerus Hak Konstitusional Pendidikan dan diulas oleh Tempo melalui artikel Dosen Unair Sebut Pemangkasan Anggaran Ingkari Amanat 20 Persen APBN untuk Pendidikan.

Wacana kebijakan atau program kuliah gratis memang tidak mungkin. Sepanjang pemerintah dan pengambil kebijakan negeri ini tidak mengutamakan peningkatan kualitas pendidikan secara substantif sebagai prioritas pertama dalam politik anggarannya

I was right!

Garuda, Thanks for the Memories

The downfall of Garuda Indonesia is pathetic, yet predictable

When I was a child, watching airplanes take off and land at the airport was one of my fondest memories with my family. Those little moments slowly evolved into a dream—to someday be part of the national airline.

I still remember vividly how “Tanah Airku tidak kulupakan, kan terkenang selama hidupku” echoed through the cabin before landing from an international flight. It almost made me cry.

Later in my last semester in college, I decided to focus my thesis on Garuda Indonesia. I studied how frequent flyer members engage with the brand and become loyal. I really hoped that would give me an advantage in the recruitment process. As a leverage.

But quite surprisingly, I failed to pass even the first step—the administrative stage. It’s okay. Life goes on.

Then, Garuda went public. And slowly, things unraveled.

Stories began to surface—signs of long-standing mismanagement and weak governance: fabricated annual income, wrong decisions on buying short-haul aircraft, and lavish global marketing with questionable returns. Also, corrupt behavior among board members.

And of course, years earlier, a citizen was assassinated during a flight by a co-pilot who was later exposed as a state intelligence agent.

Personally, I even tasted the signs of their decline in something as simple as the food they served in their airport lounge. It was unacceptable; the rice was stiff. For an airline that proudly campaigns as a five-star service, this was awful.

We can also look at their stock performance since the IPO. It’s been a free fall. They have lost their grip on the domestic market and their relevance in the region.

I don’t know how to fix them. I have no proposal. But I do believe, somehow, when business interests no longer serve the purpose of the company itself,
we shouldn’t expect a revival any time soon.

This is just a short reflection, written during a flight with another national carrier. Experiencing the competitor’s top-notch service at every customer touchpoint left me with mixed, strange feelings.

Take care of yourself, Garuda.

Thanks for the memories.


Update:
I wrote this mid-air, 2 May 2025. That same evening, Bloomberg reported the grounded jets, Garuda’s Grounded Jets Show Pain in Indonesia’s Airline Sector
.

Makan Beracun Gratis: Mimpi Buruk Logistik, Bencana Kebijakan

Tulisan ini berangkat dari ide awal yang saya sampaikan melalui tweet ini. Dalam tulisan ini, saya menguraikan secara naratif analisis mengapa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) berpotensi menjadi mimpi buruk logistik dan bencana kebijakan nasional, serta mengapa pembatalan total menjadi langkah paling rasional. Adapun ide-ide lebih rinci namun ringkas, tersedia di thread tersebut.

Seiring waktu, satu per satu bukti kegagalan strategis dan operasional bermunculan, memperkuat keyakinan bahwa masalah MBG bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan cacat sejak tahap perencanaan dan desain program.


Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan dengan janji memperbaiki gizi anak, ibu hamil dan pelajar serta mempercepat peningkatan kualitas sumber daya manusia nasional. Namun, dari kacamata strategi operasi dan pengelolaan rantai pasok, sejak awal program ini memikul beban kesalahan desain yang berat. Hari ini, dengan merebaknya kasus keracunan di berbagai daerah, kegagalan itu nyata di hadapan kita. MBG bukanlah program yang bisa diselamatkan dengan perbaikan kecil. Ia harus dibatalkan secara keseluruhan.

Dalam setiap rancangan produk hingga layanan publik berskala nasional, terdapat prinsip dasar yang tak bisa diabaikan: keseimbangan antara biaya, mutu, dan jangkauan. MBG memutuskan untuk menekan biaya seminimal mungkin sambil memaksakan jangkauan nasional masif. Akibatnya, mutu harus dikorbankan. Dengan biaya hanya sekitar Rp10.000 per anak per hari, mustahil memastikan makanan bergizi dan aman tersebar ke seluruh pelosok negeri. Ini adalah kesalahan kalkulasi strategi operasional yang sangat mendasar.

Masalah MBG bukan sekadar kesalahan distribusi di lapangan. Ia mencerminkan kegagalan sistemik dalam perencanaan, mulai dari pemilihan sumber daya, proses produksi, hingga mekanisme pengantaran ke sekolah-sekolah. Dalam rantai pasok pangan, pengendalian mutu yang integral sejak tahap perencanaan, pengadaan bahan, pembuatan, hingga distribusi adalah keharusan mutlak. Program ini mengabaikan prinsip tersebut. Tanpa jaringan penyimpanan dingin yang memadai, tanpa sistem audit mutu independen, tanpa kesiapan infrastruktur sekolah, hasil akhirnya adalah makanan yang tidak layak konsumsi, membahayakan kesehatan anak-anak kita.

Pernyataan resmi yang menyebut tingkat keracunan “hanya” 0,5 persen memperlihatkan pemahaman yang keliru tentang pengelolaan risiko publik. Untuk layanan dan produk yang berpotensi membahayakan pengguna saat gagal, contoh produk makanan, angka keracunan harus nol. Satu anak yang sakit karena program pemerintah adalah satu kegagalan yang tidak bisa dibenarkan, apalagi dianggap sepele. Di sinilah letak persoalan utamanya: negara telah gagal mengutamakan keselamatan rakyat kecil dalam setiap tahapan pelaksanaan. Bayangkan ini terjadi di sektor swasta, produk atau produsen tersebut bisa diboikot.

Krisis ini diperparah oleh minimnya akuntabilitas dan transparansi program. Pengelolaan yang lebih banyak diserahkan ke instansi non-sipil tanpa kompetensi teknis yang memadai di bidang logistik dan kesehatan pangan, diiringi proses pengadaan yang tidak terbuka dan minim pengawasan publik, membuka ruang besar untuk inefisiensi, kesalahan, bahkan potensi penyimpangan. Alih-alih menjadi investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa, MBG justru berisiko menjadi proyek pemborosan sumber daya nasional.

Dari segi skala, program ini juga mencemaskan. Target pemberian makan kepada lebih dari 40 juta pelajar dan 82 juta penerima manfaat dengan anggaran sekitar Rp300 triliun per tahun adalah ambisi yang tidak sebanding dengan kapasitas infrastruktur pelayanan publik kita hari ini. Tanpa kesiapan bertahap, tanpa pilot project berbasis bukti dan uji publik, MBG lebih menyerupai eksperimen sosial berskala raksasa dengan anak-anak Indonesia sebagai taruhannya.

Oleh karena itu, solusi terbaik bukanlah memperbaiki MBG, melainkan membatalkannya secara keseluruhan. Dana negara tidak boleh dihamburkan untuk program yang cacat secara perencanaan, cacat secara operasional, dan cacat secara akuntabilitas. Kita perlu mengembalikan fokus pembangunan kepada pencegahan stunting yang berbasis bukti dan efektivitas nyata.

Pencegahan stunting selama 1.000 hari pertama kehidupan — sejak masa kehamilan hingga usia dua tahun — terbukti menjadi intervensi paling kritis untuk memperbaiki kualitas generasi mendatang. Fokuskan anggaran untuk memperkuat Posyandu, meningkatkan kapasitas bidan desa dan penyuluh kesehatan, memperluas akses nutrisi bagi ibu hamil dan balita. Perbaiki sistem pelayanan dasar, berikan dukungan operasional langsung, dan hindari pengeluaran-pengeluaran tidak produktif seperti perjalanan dinas dan pelatihan seremonial.

Setiap kegagalan operasional MBG bukan sekadar angka statistik. Ia adalah penderitaan nyata di ruang-ruang kelas, di keluarga-keluarga kecil yang berharap pada janji negara. Setiap insiden keracunan, setiap makanan basi yang dikonsumsi, adalah tamparan bagi semangat keadilan sosial yang seharusnya menjadi jiwa setiap kebijakan publik.

Membatalkan MBG bukanlah kegagalan. Membatalkan MBG adalah keberanian untuk mengakui kekeliruan, dan untuk memperbaiki arah pembangunan bangsa dengan bertumpu pada akal sehat, tanggung jawab, dan keberpihakan sejati pada masa depan anak-anak Indonesia. Saatnya negara bertindak. Batalkan program ini, sebelum bencana yang lebih besar datang menyusul.