Kuliah Gratis, Mengapa Tidak Mungkin?

Tulisan ini ditulis sebagai respon atas tulisan Prof. Mohammad Nasih dengan judul “Kuliah Gratis, Mengapa Tidak?” yang dirilis oleh Kompas pada tanggal 12 September 2024. Saat membacanya di pagi hari, saya meresponnya dengan tulisan berikut yang juga saya kirim ke Redaksi Opini Kompas pada tanggal yang sama.

Namun, Kompas tidak mempublikasikannya.

Pengarsipan melalui blog ini terlambat dilakukan namun lebih baik dirilis daripada tidak sama sekali. Dan, terima kasih telah membaca.


Kuliah Gratis, Mengapa Tidak Mungkin?

Tulisan “Kuliah Gratis, Mengapa Tidak?” oleh Mohammad Nasih memuat sejumlah kelemahan argumen atau fallacies yang penting untuk dicermati, terutama di bagian akhir yang sangat disayangkan tidak menunjukkan kondisi terkini politik anggaran pendidikan nasional dengan baik. 


Kelemahan Argumen

Di bagian awal tulisan, argumen kesan kuliah mahal meskipun ada bantuan beasiswa dari pemerintah melalui skema Kartu Indonesia Pintar (KIP)-Kuliah sebagai pembuka gagasan, tidak memiliki data-data pendukung yang bisa dirujuk. Faktanya, memang biaya kuliah yang harus dibayarkan oleh rumah tangga nasional semakin mahal sebagaimana dirilis dalam Berita Resmi Statistik Perkembangan Indeks Harga Konsumen Agustus 2024 dari Badan Pusat Statistik (BPS).  

Dalam laporan tersebut, tingkat inflasi pada kelompok pengeluaran pendidikan secara month-to-month (M-to-M) mencapai 0,65%, sementara inflasi year-on-year (Y-on-Y) Agustus 2024 tercatat sebesar 1,83%. Lebih khusus lagi, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS dalam konferensi persnya merinci bahwa tren inflasi pada sektor pendidikan tinggi adalah sebesar 0,46%, lebih tinggi daripada inflasi pada sektor sekolah menengah atas yang berada di angka 0,36%. Ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan tinggi memang terus mengalami peningkatan yang signifikan, yang tentu menjadi beban bagi rumah tangga, terutama rumah tangga dengan pendapatan menengah ke bawah.

Kesalahan kedua adalah generalisasi berlebihan (hasty generalization) dan bias kelas terkait fenomena masyarakat yang mengaku miskin ketika harus membayar biaya pendidikan. Tulisan tersebut seakan-akan menyiratkan bahwa sebagian masyarakat yang mengeluhkan biaya pendidikan sebenarnya tidak sepenuhnya miskin. Ini adalah pernyataan yang sangat bias dan mengabaikan realitas bahwa banyak rumah tangga miskin memang menghadapi kesulitan dalam mengalokasikan pengeluaran untuk pendidikan.

Berdasarkan Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2023 yang dirilis oleh BPS, Garis Kemiskinan per kapita berada di angka Rp550.458,- per bulan. Dari total pengeluaran rumah tangga miskin, sekitar 74,21% digunakan untuk kebutuhan pokok seperti makanan, sementara hanya sekitar 25,79% yang tersisa untuk pengeluaran non-makanan, termasuk pendidikan. Angka ini menunjukkan betapa terbatasnya kemampuan rumah tangga miskin untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka tanpa bantuan dari pemerintah.

Dengan demikian, tulisan tersebut tidak hanya mengabaikan kenyataan ekonomi yang dihadapi rumah tangga miskin, tetapi juga menunjukkan ketidakpahaman tentang bagaimana struktur pengeluaran rumah tangga miskin di Indonesia. Hal ini jelas merupakan kelemahan mendasar dalam membangun argumen kuliah gratis yang disampaikan.

Realitas Anggaran RAPBN 2025 

Tulisan tersebut merekomendasikan lima langkah strategis untuk mewujudkan pendidikan tinggi gratis, yaitu adanya kemauan politik (political will) dari pemerintah, peningkatan alokasi anggaran pendidikan, efisiensi program, peran dana abadi pendidikan, serta partisipasi pemerintah daerah. Usulan ini terdengar masuk akal. Namun, jika kita melihat realitas politik anggaran nasional saat ini, langkah-langkah ini sulit untuk diimplementasikan dalam waktu dekat. 

Sebagai gambaran, komitmen dan prioritas kebijakan pemeritah tercermin dalam politik anggaran nasional dengan APBN sebagai produk hukumnya. Pada masa transisi pemerintahan periode Jokowi ke Prabowo saat ini, RAPBN 2025 sedang digodok di Badan Anggaran DPR yang ditargetkan akan disahkan di minggu ketiga bulan September 2024. Namun, postur sementara sudah terlihat dari RAPBN 2025 dan Nota Keuangan yang disampaikan Presiden Jokowi, 16 Agustus lalu.

Kenyataannya, RAPBN dan Nota Keuangan 2025 yang sudah mengakomodir kebijakan dan program-program strategis pemerintahan baru, tidak menjadikan pendidikan sebagai prioritas pertama sehingga gagasan kuliah gratis secara khusus hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia secara umum patut dipertanyakan. 

RAPBN 2025 merencanakan anggaran belanja sebesar 3.613 triliun dan mandatory spending pendidikan yang diamanatkan konstitusi sebesar 20% berarti senilai Rp 722 triliun. Angka mandatory spending sebesar itu dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat, Transfer ke Daerah (TKD) dan pembiayaan. Namun dari angka 722 triliun tersebut justru dilahap sebagian untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBZ) sebesar Rp 71 triliun atau hampir 10%-nya. Hal ini terungkap pada Rapat Kerja Komisi X DPR RI dengan Kemdikbudristek RI pada 6 September lalu. 

Lebih jauh lagi, prioritas anggaran kementerian dan lembaga (K/L) di tahun 2025, masih menempatkan Kementerian Pertahanan dan Kepolisian sebagai dua K/L dengan anggaran tertinggi masing-masing 165 triliun dan 126 triliun. Bandingkan dengan Kemdikbudristek dengan total anggaran 83 triliun yang dialokasikan kepada pendidikan tinggi sebesar 34 triliun, vokasi sebesar 3,7 triliun dan program pendidikan tinggi yang dikelola Kemenag sebesar 8,2 triliun. Bahkan, pagu anggaran Kemdikbudristek di RAPBN 2025 berkurang 10% jika dibandingkan dengan outlook APBN 2024 yang sebesar 92 triliun. 

Postur anggaran tersebut adalah bukti bahwa pendidikan memang belum menjadi prioritas tertinggi. Sehingga, political will dan peningkatan anggaran pendidikan sebagai dua langkah strategis pertama dalam gagasan kuliah gratis langsung terbantahkan sendiri dengan postur RAPBN 2025. 

Penutup

Dengan kondisi anggaran yang demikian, gagasan pendidikan tinggi gratis sulit terwujud dengan cakupan yang lebih luas dan penerima beasiswa yang lebih banyak. Anggaran pendidikan yang besar pun tidak sepenuhnya dialokasikan untuk sektor pendidikan, dan pagu anggaran pendidikan tinggi justru mengalami penurunan. Tanpa adanya kemauan politik yang kuat dan alokasi anggaran yang lebih adil, cita-cita pendidikan tinggi gratis akan tetap menjadi wacana yang sulit terealisasi.

Jika gagasan kuliah gratis ini dieksekusi pemerintahan mendatang maka sejumlah langkah strategis bisa dilakukan. Pertama, dalam jangka pendek, memprioritaskan anggaran pendidikan sebagai prioritas pertama baik berdasarkan alokasi fungsi anggaran dan alokasi K/L. Sektor-sektor yang memakan porsi besar seperti pertahanan dan kepolisian bisa dialokasikan sebagian untuk anggaran pendidikan. Kedua, rekomendasi peningkatan alokasi dan optimalisasi Dana Abadi Pendidikan, khususnya Dana Abadi Perguruan Tinggi memang sangat mungkin dilakukan baik dalam jangka pendek maupun panjang. Terakhir, penguatan kolaborasi publik dan swasta dalam pembiayaan pendidikan tinggi dengan insentif fiskal tertentu bagi perusahaan-perusahaan maupun yayasan yang aktif berkontribusi membangun bidang pendidikan. 


Lalu, pada tanggal 22 Januari 2025, Presiden Prabowo menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 (Inpres 1/2025). Instruksi ini berisi tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan baik di tingkat nasional (APBN) maupun daerah (APBD).

Saya menjawab kebijakan tersebut dengan tulisan INPRES No. 1 Tahun 2025: Penggerus Hak Konstitusional Pendidikan dan diulas oleh Tempo melalui artikel Dosen Unair Sebut Pemangkasan Anggaran Ingkari Amanat 20 Persen APBN untuk Pendidikan.

Wacana kebijakan atau program kuliah gratis memang tidak mungkin. Sepanjang pemerintah dan pengambil kebijakan negeri ini tidak mengutamakan peningkatan kualitas pendidikan secara substantif sebagai prioritas pertama dalam politik anggarannya

I was right!

INPRES No. 1 Tahun 2025: Penggerus Hak Konstitusional Pendidikan

Belum selesai huru-hara pemangkasan anggaran di sektor-sektor krusial setelah terbitnya INPRES No. 1 Tahun 2025, Prabowo kembali menegaskan kelanjutan pemangkasan anggaran ini hingga tiga tahap sebagaimana pidato di HUT partainya (15 Februari 2025). Pemotongan ini semakin mengancam alokasi pendidikan yang, berdasarkan konstitusi, seharusnya dilindungi.

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan bahwa negara harus mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN untuk pendidikan. Namun, setelah serangkaian pemangkasan, alokasi pendidikan dalam APBN 2025 yang semula Rp722 triliun kini hanya tersisa Rp607,4 triliun—turun drastis menjadi 16,77 persen dari total belanja negara sebesar Rp3.621,3 triliun. Bahkan jika MBG (Rp71 triliun) tetap dihitung sebagai bagian dari pendidikan, alokasi tetap di bawah batas konstitusional, hanya mencapai 18,73 persen.

Prinsip konstitusional ini telah ditegaskan dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk dalam Putusan Nomor 13/PUU-VI/2008, yang menegaskan bahwa pemerintah wajib memenuhi alokasi minimal tersebut dalam setiap penyusunan APBN. Kini, dengan defisit anggaran pendidikan sebesar Rp116,8 triliun dari batas minimal konstitusi, pemangkasan ini bukan hanya persoalan efisiensi fiskal, melainkan pelanggaran terhadap hak pendidikan yang dijamin UUD 1945.

Preseden penting terjadi pada tahun 2008, ketika sejumlah warga menggugat Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2008 karena hanya mengalokasikan 15,6 persen dari total APBN untuk pendidikan, jauh dari batas minimal yang ditetapkan dalam UUD 1945. Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya, menegaskan bahwa ketidaksesuaian ini merupakan pelanggaran konstitusi dan memerintahkan pemerintah untuk memastikan kepatuhan terhadap amanat Pasal 31 UUD 1945 mulai tahun berikutnya. Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani Indrawati, bahkan mengakui pentingnya menyesuaikan rencana anggaran pendidikan dengan amanat konstitusi.

Namun, kondisi serupa kini terulang kembali dengan terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Instruksi ini mengarahkan pemangkasan anggaran di hampir seluruh kementerian dan Lembaga (K/L), termasuk fungsi Pendidikan di seluruh K/L, sementara anggaran K/L tertentu termasuk DPR tetap tidak tersentuh efisiensi tersebut.

Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, alokasi anggaran pendidikan bukan sekadar aspek teknis fiskal, melainkan kewajiban konstitusional yang ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Pemerintah diwajibkan untuk mengalokasikan minimal 20 persen dari APBN untuk pendidikan. Namun, dengan terbitnya Instruksi Presiden (INPRES) No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja, terjadi pemangkasan besar terhadap anggaran pendidikan yang menyebabkan alokasi tersebut jatuh di bawah batas konstitusional.

Setelah sejumlah K/L mendapatkan Surat Menteri Keuangan RI Nomor S-37/MK.02/2025 tanggal 24 Januari 2025 hal Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2025,  ditemukan bahwa total pemangkasan anggaran pendidikan di empat kementerian/lembaga utama, di luar pendidikan kedinasan di K/L lainnya, mencapai Rp 43,6 triliun. Pemotongan terbesar terjadi pada Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) yang kehilangan Rp 22,5 triliun, diikuti oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang mengalami pengurangan sebesar Rp 8 triliun. Kementerian Kebudayaan juga tidak luput dari kebijakan ini dengan pemangkasan sebesar Rp 1,1 triliun, sementara Kementerian Agama, yang menaungi pendidikan Islam untuk sekolah madrasah, pesantren, dan PTN Islam, menghadapi pengurangan anggaran sebesar Rp 11,5 triliun.

Akibat pemangkasan ini, alokasi pendidikan dalam APBN 2025 yang seharusnya mencapai 20 persen turun hingga 18,7 persen (termasuk anggaran MBG) atau bahkan lebih parah  sehingga berada di bawah batas konstitusional yang telah ditegaskan dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam sejarah kebijakan fiskal Indonesia, pelanggaran terhadap amanat alokasi minimal anggaran pendidikan pernah menjadi objek gugatan terhadap UU APBN-P 2008 di Mahkamah Konstitusi, di mana pemerintah saat itu hanya mengalokasikan 15,6 persen dari APBN untuk pendidikan. Putusan MK Nomor 13/PUU-VI/2008 kemudian memperingatkan pemerintah agar memastikan anggaran pendidikan tidak boleh kurang dari batas minimal konstitusional, sebuah peringatan yang kini kembali relevan dalam konteks kebijakan efisiensi belanja negara tahun 2025.

Pemerintah mungkin akan mengklaim bahwa MBG masih termasuk dalam anggaran pendidikan, sehingga total anggaran tetap di atas 20%. Namun, perhitungan ini perlu dikritisi karena MBG lebih merupakan program bantuan sosial dibandingkan investasi langsung dalam sistem pendidikan. Faktanya, pemangkasan Rp43,6T tetap berdampak pada beasiswa, riset akademik, tunjangan guru dan dosen, pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur pendidikan serta operasional sekolah dan universitas di seluruh Indonesia.

Selain itu, kebijakan efisiensi ini juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai distribusi beban pemangkasan anggaran di sektor lain seperti anggaran Badan Intelijen Negara dan DPR tetap aman tanpa pemotongan. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa kebijakan efisiensi tidak dilakukan secara proporsional, melainkan membebani sektor pendidikan lebih besar dibandingkan sektor lainnya yang seharusnya turut menanggung beban penghematan negara. Jika pemangkasan ini dibiarkan tanpa koreksi, maka pemerintah secara nyata tidak hanya mengabaikan amanat konstitusi tetapi juga mengulangi kesalahan kebijakan yang sebelumnya telah diperbaiki melalui putusan MK.

Pemerintah harus bertanggung jawab atas transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran negara. Setiap rupiah dalam APBN harus mencerminkan komitmen terhadap hajat hidup orang banyak, bukan justru mengorbankan sektor-sektor esensial seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar. Pemangkasan anggaran tidak boleh menjadi dalih untuk melemahkan investasi jangka panjang dalam pembangunan sumber daya manusia. Jika efisiensi benar-benar menjadi tujuan, maka pemerintah seharusnya memangkas anggaran yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat, seperti pengurangan jumlah staf khusus presiden, alokasi belanja birokrasi yang berlebihan, dan penyusunan kabinet gendut yang justru menambah inefisiensi.

Di sisi lain, transparansi pengelolaan anggaran harus diperkuat agar setiap keputusan yang menyangkut pengurangan dana pendidikan bisa diuji oleh publik. Pemerintah harus menjelaskan dengan terbuka mengapa pendidikan dijadikan objek pemotongan besar. DPR, yang tidak kena potong anggaran, bisa meminta penjelasan kepada pemerintah atas kebijakan serampangan ini. Di sisi lain, kemungkinan menguji INPRES ini ke PTUN terbuka jika ada sekolah dan universitas yang mengalami defisit operasional atau penerima beasiswa yang kehilangan haknya terhadap keputusan administratif ini.

Apabila langkah-langkah di atas tidak dilakukan, maka pemangkasan anggaran pendidikan akan menjadi preseden buruk bagi kebijakan fiskal di masa depan, mengorbankan hak rakyat atas pendidikan yang layak dan berkualitas. Pendidikan harus kembali menjadi prioritas utama dalam anggaran negara, bukan sekadar angka dalam laporan fiskal yang bisa dikurangi tanpa perhitungan jangka panjang.


Lampiran Perhitungan Anggaran Pendidikan dan Pelanggaran Batas Konstitusional (APBN 2025)

1. Standar Konstitusional Alokasi Pendidikan

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan bahwa alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari total belanja negara (APBN). Dengan total belanja negara dalam APBN 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun, maka seharusnya anggaran pendidikan minimal…

                   20\% \times 3.621,3T = 724,26T 

Seharusnya, anggaran pendidikan minimal Rp724,26 triliun agar sesuai dengan konstitusi…


2. Anggaran Pendidikan Setelah Pemangkasan

Sebelum pemangkasan, anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp722 triliun. Namun, setelah pemotongan untuk MBG dan efisiensi INPRES No. 1 Tahun 2025, anggaran yang tersisa menjadi…

                    722T - 71T - 43,6T = 607,4T 

Anggaran pendidikan setelah pemangkasan hanya Rp607,4 triliun


3. Hitung Persentase Anggaran Pendidikan Setelah Pemangkasan

Untuk mengetahui berapa persen anggaran pendidikan setelah pemangkasan dibandingkan dengan total belanja negara, digunakan perhitungan…

                      \left( \frac{607,4T}{3.621,3T} \right) \times 100\% = 16,77\% 

Hasilnya, anggaran pendidikan turun menjadi 16,77% dari total belanja negara, jauh di bawah batas konstitusional 20%…


4. Jika MBG Dihitung Sebagai Bagian dari Anggaran Pendidikan

Jika pemerintah tetap memasukkan MBG sebesar Rp71T dalam anggaran pendidikan, maka perhitungannya menjadi…

                      607,4T + 71T = 678,4T 

Persentase anggaran pendidikan terhadap total belanja negara setelah memasukkan MBG menjadi…

                    \left( \frac{678,4T}{3.621,3T} \right) \times 100\% = 18,73\% 

Bahkan jika MBG tetap dihitung sebagai bagian dari pendidikan, anggaran tetap hanya 18,73%, masih di bawah 20% yang diwajibkan konstitusi…


5. Defisit Anggaran Pendidikan dari Standar Konstitusional

Karena batas minimal konstitusional adalah Rp724,26 triliun, maka kekurangan anggaran pendidikan setelah pemangkasan bisa dihitung sebagai berikut…

Tanpa MBG:

                   724,26T - 607,4T = 116,86T 

Dengan MBG: 724,26T - 678,4T = 45,86T

Jadi, setelah pemangkasan INPRES No. 1/2025, kekurangan anggaran pendidikan dari batas konstitusi berkisar antara Rp45,86 triliun (jika MBG dihitung) hingga Rp116,86 triliun (tanpa MBG).


Kesimpulan Matematis

\text{Tanpa MBG: } 16,77\% 
\text{Dengan MBG: } 18,73\%
\text{Defisit Anggaran: } 45,86T - 116,86T

Angka ini menunjukkan bahwa jika pemerintah mengklaim bahwa “anggaran pendidikan tetap aman” ternyata tidak akurat dan dapat dibantah secara matematis.

Balai Belajar Masyarakat

Balai Belajar Masyarakat (BBM) adalah satu ruang publik yang berfungsi sebagai ruang baca, belajar, pertemuan, kelas-kelas mengasah keterampilan dan aktualisasi individu atau komunitas. Iya, perpustakaan tapi nggak sekedar perpustakaan. Coworking space tapi nggak sekedar ruang bekerja.

Sumber: ChatGPT dengan prompt tertentu.

Ruang ini bukan sekadar bangunan, melainkan platform sosial. Sebuah tempat di mana interaksi, pembelajaran, dan pertukaran ide menjadi denyut nadi yang menghidupkan ruang-ruangnya. Setiap sudutnya memiliki nilai, setiap kursi dan mejanya adalah ruang diskusi, dan setiap dindingnya menyerap lalu mengamplifikasi energi dari orang-orang yang datang dengan semangat ingin belajar dan berbagi.

Bayangkan, seorang anak kecil yang bahkan belum bisa membaca, tumbuh di ruang-ruang ini. Di sini, mereka tidak hanya menemukan buku-buku, tapi juga berproses menemukan diri mereka. Mereka bermain, belajar, dan menjelajah dunia pengetahuan di perpustakaan. Ketika mereka beranjak remaja, mereka mulai menggunakan coworking space untuk mengerjakan proyek sekolah, atau mungkin hanya untuk berdiskusi dengan teman-teman mereka tentang ide-ide baru.

Ruang ini menjadi saksi perjalanan hidup mereka. Dari anak-anak hingga dewasa, ruang ini beradaptasi dengan kebutuhan mereka, menjadi tempat untuk upskilling, reskilling, atau bahkan sekadar tempat untuk bertukar pikiran tentang isu-isu sehari-hari. Mereka yang dulunya hanya menjadi peserta, kini menjadi fasilitator, mentor, atau pemimpin diskusi, memberikan kembali apa yang telah mereka pelajari di tempat yang sama.

Imajinasi model coworking space atau perpustakaan besar. Sumber: Pinterest

Ruang ini adalah tempat di mana kehidupan dan pembelajaran berjalan berdampingan. Sebuah tempat di mana setiap individu, dari anak-anak hingga orang tua, bebas menemukan potensi mereka, belajar, dan berkontribusi. Inilah esensi dari Balai Belajar Masyarakat—ruang yang hidup, tumbuh, dan terus berkembang seiring dengan individu-individu yang ada di dalamnya.

Saat saya SMP-SMA, fasilitas seperti ini adalah perpustakaan daerah kabupaten yang sangat dekat dengan alun-alun atau kantor pemerintahan. Namun jika dibangun secara masif, Balai Belajar Masyarakat tidak harus terpaku pada pusat-pusat pemerintahan atau administratif. Ruang-ruang ini bisa hadir di setiap kelurahan atau berbasis distrik (kecamatan), ditempatkan di titik-titik yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Fleksibilitas lokasinya adalah kunci, mengikuti gravitasi pusat penduduk, sehingga mudah dijangkau dan dekat dengan komunitas yang akan menggunakannya. Balai ini bisa ditempatkan di area yang memiliki akses transportasi umum yang baik, memudahkan mobilitas orang-orang yang datang untuk belajar, berdiskusi, atau bekerja.

Sumber: ChatGPT dengan prompt tertentu.

Selain itu, dekatnya lokasi dengan aglomerasi sekolah, pusat pendidikan, atau fasilitas umum lainnya bisa semakin memperkuat fungsinya sebagai tempat berkumpul dan belajar. Sepulang sekolah, anak-anak bisa langsung datang untuk mengerjakan tugas atau membaca, sementara mereka yang bekerja bisa memanfaatkan coworking space yang ada. Pendekatan ini memastikan bahwa Balai Belajar Masyarakat menjadi bagian integral dari ekosistem pendidikan dan komunitas setempat—bukan sekadar bangunan fisik, tapi juga bagian dari jaringan sosial dan budaya yang hidup di sekitarnya

Waktu operasional bisa menyesuaikan dengan sumber daya, kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakatnya termasuk isu pembiayaan. Jika ada Balai Belajar Masyarakat yang aman dan nyaman untuk belajar selama 24 jam misalnya, para penggunanya tidak akan merasakan yang saya rasakan dulu. Saat saya ingin belajar dan mengerjakan tugas hingga larut, saya harus ke warnet (warung internet), begadang dan berkelahi tangan dengan nyamuk-nyamuk di gazebo-gazebo kampus atau harus bayar sekian puluh ribu di restoran siap saji 24 jam sambil membawa colokan tambahan bersama teman-teman senasib sepenanggungan. Menyedihkan.

Tentu, agar Belajar Masyarakat ini terus hidup dan relevan, agenda mingguan dan bulanan sudah terencana sejak setahun sebelumnya. Semua elemen masyarakat dari berbagai latar belakang umur, sosial dan ekonomi bisa berkegiatan sesuai dengan kebutuhan belajar mereka. Semacam agenda-agenda perpustakaan di negara-negara yang masyarakatnya mencintai ilmu dan menyebarluaskan pengetahuannya. Agenda-agenda ini dirancang secara kolaboratif dengan komunitas lokal, praktisi, dan akademisi, memastikan bahwa setiap kegiatan relevan dan berdampak nyata bagi masyarakat. Balai ini tidak hanya sebuah ruang, tapi juga pusat pembelajaran yang terus bergerak sepanjang tahun.

Mimpi dulu, boleh.

Student Loans: A Slippery Slope for Indonesia

This is a shorter English version of my previous post, “The student loan idea is a slippery slope; prove me wrong!” with the same substance. I sent it to the English-based media and failed to be published.

——————————————————————————————————-

The discourse surrounding student loans in Indonesia emerged intensively again after the Minister of Education, Culture, Research, and Technology issued Permendikbud Number 2 of 2024 concerning the Operational Cost Standards for Higher Education. Following this new regulation, several public universities implemented new policies that significantly increased tuition fees. At this point, this idea gained momentum due to rising undergraduate and vocational program costs.

The student loan discourse in Indonesia is a slippery slope. Once this idea becomes a policy, we must be prepared for a series of new problems it might cause. We should oppose this idea for at least three reasons. 

First, when discussing student loans, it is important to look at how this policy has been implemented in the U.S. According to Student Loan Debt Statistics, the student loan policy in the U.S. has led to a total debt of $1.6 trillion, which is used to finance higher education. This amount is equivalent to 25.572 trillion rupiahs at the current exchange rate.

Furthermore, Carlson (2020), in his publication “The U.S. Student Loan Debt Crisis: State Crime or State-Produced Harm?” mentions that student loans, initially promised and designed to accelerate social mobility by increasing higher education enrollment in the U.S. after World War II, have instead resulted in intergenerational losses. Other research showing individual, societal, and national impacts supports these intergenerational losses over the past few decades.

On an individual level, the implications of student loans are stark. Those burdened with such debts have a diminished capacity to embark on entrepreneurial ventures (American Student Assistance, 2015) or secure their first home loans (Federal Reserve, 2019). The reason is simple-they are saddled with the responsibility of repaying their education debt before they can even consider taking on new financial obligations.

Now, picture this scenario unfolding in Indonesia! Fresh graduates, with salaries barely exceeding the regional or city minimum wage, are grappling with tuition debt payments and exorbitant housing prices. The mere thought of pursuing a business idea, which inherently carries more risk than a stable job, seems like a distant dream.

At the societal and national levels, student debt negatively impacts consumption in small and medium-sized businesses (Federal Reserve Bank of Philadelphia, 2015), reduces economic growth, increases financial risk (Federal Reserve, 2018), and diminishes potential assets at retirement age (Rutledge et al., 2015).

Second, student loans negatively impact the well-being and mental health of students. It is hard to find evidence that student loans positively influence students’ well-being, mental health, and academic performance in the United States, the U.K., and several other developed countries. Academics in this field seem to agree that student debt negatively affects the well-being, mental health, and academic performance of students (Ross et al., 2004; Cooke et al., 2006; Walsemann et al., 2015; Kim & Chatterjee, 2018; Richardson et al., 2017; Pisaniello et al., 2019), especially in lower and middle-class groups (Despard et al., 2016).

Lastly, student loans could create moral hazards for the government and state university administrators. In 2010, the Constitutional Court annulled the Education Legal Entity Law, stating that the law had no binding legal force. At that time, Mahfud MD, Chief Justice of the Constitutional Court, stated, “The law tends to shift the state’s responsibility to society to bear the burden of education.”

In 2012, the government and the House of Representatives agreed to pass the Higher Education Law. Activists and civil society concerned about higher education, still feeling the spirit of education liberalization and fearing the release of state responsibility in the bill, opposed its passage. One problematic article uses the phrase “interest-free loans” in one of its articles.

Fast-forward to 2024, and this phrase has become the student loan discourse we are discussing now. The two previous arguments, the student debt crisis, and student well-being, have a series of evidence-based findings. Now, there is a solid reason to think about scenario planning, a method, and technique in strategic management for planning or anticipating what might happen.

The logic is that student loans are a market- or private-based solution when there is a disparity between students’ ability to pay and university tuition fees. The government could justify reducing operational assistance, subsidies, and higher education funding support by stating that “the private sector has also participated in student financing.”

Second, university officials could avoid the responsibility of providing tuition fee reduction assistance for vulnerable groups. Why? Because financing companies cover it. Worse, university administrators classify students into higher tuition fee groups because a fintech company has already cooperated with public universities and officially endorsed them. Does this make sense?

Both of the above are chain reactions and potential moral hazards that may occur when individuals or organizations deliberately take specific actions that are more beneficial because they do not bear the adverse consequences of their decisions.

Hypothetically asking, is it possible to have a low or even zero interest rate for student loans? It is ordered by the Higher Education Law in Paragraph 2 concerning the Fulfillment of Student Rights, Article 76, Paragraph 2(c), “an interest-free loan that must be repaid after graduating and/or obtaining a job.” However, a simulation by Elmira and Suryadarma (2018) concluded that the appropriate interest rate for all parties, namely the government, private sector, and individuals, is 10 % annually. On the other hand, the lowest interest rate in Indonesia currently is Micro People’s Business Credit at 6% per year, with an interest subsidy to national banks from the APBN of IDR 47.8 trillion in 2024.

If the government wants to implement this policy with interest subsidies for student loans, there is no need to bother. Instead of an interest subsidy, add it to the budget allocation for higher education. All the discourse on student loans from government officials deliberately goes against the law’s mandate, and it is crucial to oppose this dangerous idea. 

Disclaimer: This article is a personal opinion and does not reflect the policies of the institution where the author works.